Sabtu, 06 Oktober 2012

Keutamaan Ilmu Agama Di Atas Harta Dunia (3-terakhir)

"Ilmu bertambah (tumbuh berkembang) terus dengan diamalkan, sedangkan harta berkurang setiap kali diinfaqkan (dikeluarkan)" Ilmu bertambah dengan dua cara, pertama dengan diamalkan, yang kedua dengan disampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu sebagian riwayat datang dengan lafadz "على الإنفاق" yaitu bertambah ilmu tersebut dengan diinfaqkan kepada orang lain . Ilmu bertambah dan tumbuh ketika diamalkan karena ilmu tersebut akan semakin menancap kokoh di dalam hatinya. Dan ilmu akan bertambah ketika disampaikan ke orang lain karena pemiliknya setiap kali menyampaikan ilmu tersebut maka pertama: ilmu yang ada di dalam hatinya akan bertambah dalam, dan yang kedua: semakin banyak orang yang mengetahui ilmu tersebut. Ilmu yang awalnya hanya diketahui oleh satu orang, kemudian disampaikan kepada 5 orang, maka sekarang yang mengetahui ilmu tersebut menjadi 6 orang. Dan orang yang pertama tidak akan kehilangan ilmu tersebut. Jadi ilmu seperti api yang awalnya kecil, apabila diambil darinya maka akan bertambah dan asalnya tidak berkurang. Bahkan sering seseorang ketika menyampaikan suatu masalah, dia justru bisa mengetahui masalah yang lain, yang sebelumnya tidak dia ketahui. Dan ini adalah sebagai balasan dari Allah bagi orang yang berusaha mengajari ilmu bagi manusia, Allah akan mengajari dia juga ilmu. Dalam sebuah hadist Qudsi Allah mengatakan: يا ابن آدم أنفق أنفق عليك "Wahai anak Adam, berinfaqlah maka Aku akan berinfaq untukmu" (Muttafaqun 'alaihi, dari hadist Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu) Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa infaq disini mencakup infaq ilmu. (Lihat Miftah Daari As-Sa'aadah 1/128). Adapun harta, setiap kali dibelanjakan untuk kepentingan dunia maka dia akan berkurang jumlahnya secara zhahir. "Mencintai ilmu adalah termasuk agama, yang kita beribadah kepada Allah dengan rasa cinta tersebut" Ilmu agama adalah warisan para nabi 'alaihimussalam, Allah mencintai ilmu ini dan mencintai para pembawanya, dan mencintai apa yang dicintai Allah adalah ibadah, oleh karena itu mencintai ilmu adalah termasuk diperintahkan dalam agama dan merupakan ibadah kepada Allah. Adapun mencintai harta dunia maka bukan termasuk ibadah, dan dalam keadaan tertentu bisa tercela. "Ilmu membuahkan ketaatan orang lain kepada orang yang berilmu tersebut semasa dia hidup" Maksudnya seseorang yang berilmu, ilmunya akan menjadi sebab adanya ketaatan orang lain kepadanya, tanpa adanya pemaksaan. Apabila dia berbicara akan didengar, apabila dia berpendapat akan dianggap pendapatnya, bahkan oleh para penguasa sekalipun. Yang demikian karena para ulama mereka tidak berbicara dan berpendapat kecuali dengan ilmu yang diambil dari firman Allah dan hadist Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. "Ilmu meninggalkan sebutan yang baik setelah meninggalnya orang alim tersebut" Maksudnya seorang alim apabila meninggal maka nama baik dan jasanya akan dikenang oleh manusia sepanjang masa. Lihat para ulama yang meninggal ratusan tahun yang silam, dari semenjak para sahabat sampai zaman sekarang, Allah masih mengabadikan nama mereka sampai hari ini. Nama-nama mereka banyak disebut di majelis-majelis ilmu, di kitab-kitab dan lain-lain. Buku-buku mereka masih dibaca dan memenuhi perpustakaan-perpustakaan. "Apa yang diperbuat karena harta akan hilang bersama kemusnahannya" Maksudnya hubungan antara manusia yang hanya didasarkan harta akan musnah bersama musnahnya harta tersebut, seperti seseorang yang mencintai atau menghormati orang lain karena diberi harta, maka ketika dia tidak lagi memberinya harta, diapun tidak lagi mencintai dan menghormatinya. Berbeda dengan hubungan dan saling mencintai karena ilmu maka ini akan kekal meskipun 'alim tersebut sudah tidak bisa memberikan ilmu karena pikun misalnya, bahkan ketika dia sudah meninggal, hati manusia masih mencintainya. "Orang yang menumpuk harta maka mati (nama mereka) sedang mereka dalam keadaan hidup (jasadnya), dan para ulama (namanya) akan tetap ada selamanya; jasad mereka hilang (musnah), tapi sifat-sifat teladan mereka (yaitu para ulama) ada di dalam hati (manusia)" Maksudnya orang yang memiliki harta maka nama-nama mereka tidak disebut, dan tidak terkesan dalam hati manusia apabila harta tersebut tidak sampai manfaatnya kepada mereka, sehingga dia dianggap seperti orang yang sudah mati, meskipun mereka sebenarnya hidup. Ini berbeda dengan ilmu, dimana pemiliknya meskipun sudah meninggal tetapi tetap diingat oleh manusia dalam hati mereka dan sering disebut oleh lisan mereka, seakan-akan para ulama tersebut masih hidup. Demikianlah sebagian keutamaan ilmu agama di atas harta dunia yang disebutkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, dan Ibnul Qayyim rahimahullahu telah menyebutkan banyak keutamaan ilmu di atas harta dalam kitab beliau Miftah Daar As-Sa'aadah, diantaranya: 1. Ilmu adalah warisan para nabi; sedang harta adalah warisan raja dan orang kaya 2. Ilmu ikut masuk menemani pemiliknya di alam kubur, sedang harta meninggalkan pemiliknya. 3. Ilmu menghakimi harta,dan harta tidak menghakimi ilmu. 4. Ilmu yang bermanfaat hanya Allah berikan kepada orang yang beriman, sedang harta Allah berikan kepada orang mu'min maupun kafir. 5. Seorang 'alim dibutuhkan oleh semua orang dari para raja sampai rakyat jelata, sedangkan orang kaya yang butuh kepadanya hanya orang miskin. 6. Ilmu mengajak pemiliknya untuk tawadhu' dan ikhlash kepada Allah, sedang harta mengajak pemiliknya untuk pamer, menyombongkan diri, bermaksiat serta menyembah kepada harta tersebut. 7. Kelezatan ilmu terus menerus dirasakan, baik ketika diawal dia mendapatkan atau ketika dia mengamalkan dan menyampaikannya. Sedangkan harta nikmatnya hanya di awal ketika dia baru mendapatkannya. Dan bukanlah maksud dari apa yang kita sampaikan di atas, adalah anjuran meninggalkan dunia secara total. Silakan kita bekerja mencari dunia namun jadikanlah ilmu sebagai imam dan pedoman, jadikanlah harta mau diatur dengan ilmu agama. Ilmu agama mengatur supaya kita mencari harta yang halal dan meninggalkan yang haram. Ilmu agama menyuruh kita bertawakkal kepada Allah dan tidak bertawakkal kepada sebab. Ilmu menyuruh kita untuk qanaah (merasa cukup dengan pemberian Allah), meyakini bahwa rezeki sudah ditetapkan oleh Allah, tidak akan bertambah dan tidak berkurang, menggunakan harta di jalan Allah dan tidak menggunakannya dalam kemaksiatan, dan ilmu agama menyuruh kita supaya harta dunia tidak melalaikan kita dari akhirat. Demikian, wa aakhiru da'waanaa anil hamdu lillahi rabbil 'alamin. Read More......

Selasa, 13 Maret 2012

Keutamaan Ilmu Agama Di Atas Harta Dunia (2)

"Ilmu lebih baik daripada harta"
Ini adalah kalimat yang global, sebelum beliau menyebutkan secara terperinci segi-segi kebaikan ilmu dibanding harta., yang demikian supaya pendengar menyiapkan dirinya untuk mendengar apa yang akan disampaikan.
Dan yang dimaksud dengan ilmu disini adalah ilmu agama, ilmu yang bermanfaat. Sedangkan harta disini adalah harta yang dicari bukan karena ketaatan kepada Allah tetapi hanya karena kesenangan dunia semata.

" Ilmu menjagamu, sedang harta engkau yang menjaganya"
Maksudnya adalah ilmu menjadi sebab Allah menjaga dirimu, menjagamu dari kebinasaan di dunia maupun akhirat.
Menjaga seseorang dari kebinasaan di akhirat, karena dengan ilmu agama seseorang bisa mengetahui perintah Allah sehingga dia bisa laksanakan, dan bisa mengetahui larangan Allah sehingga bisa dia jauhi. Dengan sebab ilmu ini Allah menyelamatkan dia dari hal-hal yang membuat murka Allah sehingga dia bisa selamat dari adzab neraka dan masuk ke dalam surga Allah.
Adapun menjaga seseorang dari kebinasaan di dunia, maka Allah akan menjaga seseorang dengan ilmu tersebut dimanapun dia berada. Diantara contoh penjagaan ilmu terhadap seseorang adalah kisah seseorang yang membunuh 100 orang seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ، فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لَا، فَقَتَلَهُ، فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟
"Dari Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Allah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: Dahulu kala di antara ummat sebelum kalian ada seseorang yang lelaki yng membunuh 99 orang, maka dia bertanya tentang orang yang paling 'alim di atas permukaan bumi, maka dia ditunjukkan kepada seorang ahli ibadah, maka diapun mendatanginya seraya berkata bahwa dia telah membunuh 99 orang , apakah dia masih diterima taubatnya? Maka ahli ibadah itupun menjawab: Tidak (diterima taubatnya); maka orang tersebut membunuh ahli ibadah itu sehingga genaplah menjadi 100. Kemudian dia bertanya lagi , siapa orang yang paling 'alim di permukaan bumi ? Maka ditunjukkan kepada seorang 'alim, dan diapun mengabarkan bahwa dia telah membunuh 100 orang, apakah taubatnya masih diterima? Maka 'alim tersebut mengatakan: Iya, apa yang menghalangi dia untuk diterima taubatnya?... (HR. Muslim)
Lihatlah bagaimana ilmu menjadi sebab terjaganya 'alim tersebut dari kebinasaan.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa ilmu menjaga pemiliknya dari kecelakaan dan musibah, karena seseorang pada asalnya tidak mungkin memasukkan dirinya dalam kebinasaan apabila dia memiliki akal, dan tidak mungkin dia menjerumuskan jiwanya dalam kehancuran kecuali apabila dia jahil. Contohnya seperti orang yang memakan makanan yang beracun, maka orang yang tahu makanan tersebut beracun akan menahan diri dan tidak mau memakannya, tapi orang yang tidak tahu akan memakannya dan teracuni karena kebodohannya
Dan orang yang mengenal Allah, perintah dan laranganNya, mengetahui musuh dan tipu dayanya dalam menyesatkan manusia, dengan ilmunya dia bisa selamat dari was-was syetan. Setiap kali syetan berusaha menyesatkan dia dari jalan Allah maka ilmu dan iman tersebut mengingatkan dia sehingga dia kembali kepada Allah. (Lihat Miftaah Daari As-Sa'aadah 1/128)
Sedangkan harta, maka pemiliknya setelah lelah dalam mencarinya maka dia juga harus lelah dalam menjaganya, siang dan malam dia dalam keadaan cemas, resah, dan gelisah memikirkan harta yang dia dapatkan, bagaimana supaya harta tersebut aman, bertambah terus dan tidak berkurang. Dimanapun dia letakkan harta tersebut dia merasa tidak aman, dan dia akan bertambah stres bila harta tersebut benar-benar hilang atau berkurang.
Allah ta'alaa berfirman:
فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
"Maka janganlah membuat kamu kagum harta dan anak-anak mereka, sesungguhnya Allah ingin mengadzab mereka dengannya di kehidupan dunia ini, dan menjadikan resah jiwa mereka, sedangkan mereka dalam keadaan kafir" (QS. At-Taubah : 55)
Dan di akhirat dia akan mendapat perhitungan yang panjang, dia akan ditanya tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia dapatkan, sebagaimana hadist dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu 'anhu beliau berkata: Rasulullah shallallhu 'alaihiwasallam bersabda:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ
"Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga dia ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, dan tentang ilmunya; apa yang telah dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia belanjakan, dan ditanya tentang jasadnya; untuk apa dia gunakan" (HR. At-Tirmidzy, dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Jadi harta dunia bila dicari hanya karena kelezatan semata dan bukan karena Allah, maka akan menyusahkan pemiliknya di awal (ketika di mencari), di tengah (ketika dia menjaganya), dan di akhir kelak(ketika menghadapi hari perhitungan).
Read More......

Minggu, 04 Maret 2012

Keutamaan Ilmu Agama Di Atas Harta Dunia (1)

Berkata Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu kepada Kumail bin Ziyad:

يا كميلُ بن زياد! القلوبُ أوعيةٌ؛ فخيرها أوعاها؛ احفظْ ما أقول لك: الناسُ ثلاثةٌ؛ فعالمٌ ربَّانيٌّ، ومتعلِّمٌ على سبيل نجاةٍ، وهَمَجٌ رِعَاعٌ أتباعُ كلِّ ناعقٍ يميلون مع كلِّ رِيح؛ لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجَئوا إلى ركنٍ وثيقٍ؛
العلمُ خيرٌ من المال: العلمُ يحرِسُك وأنت تحرِسُ المالَ، العلمُ يزكُوْ على العمل والمالُ تنقُصُه النفقةُ، ومحبةُ العالم دينٌ يُدان بها، العلمُ يُكسِب العالمَ الطاعةَ في حياته وجميلَ الأُحْدُوْثَةِ بعد موته، وصنيعةُ المال تزول بزواله، مات خُزَّانُ الأموال وهم أحياءٌ، والعلماءُ باقُون ما بقي الدهرُ، أعيانُهم مفقودةٌ، وأمثالهُم في القلوب موجودةٌ.

"Wahai Kumail bin Ziyaad! Hati adalah wadah, maka hati yang paling baik adalah yang paling banyak menampung (kebaikan); hafalkanlah apa yang akan aku katakan kepadamu !

Manusia ada tiga (golongan): alim rabbani (ulama), penuntut ilmu yang berada di atas jalan keselamatan, dan orang awam yang mengikuti setiap orang yang berteriak (seruan), mereka condong sesuai dengan arah angin (kemanapun diarahkan) , tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu, dan tidak berpegangan dengan pegangan yang kuat ".


Ilmu lebih baik daripada harta:

-Ilmu menjagamu, sedang harta engkau yang menjaganya.

-Ilmu bertambah terus dengan diamalkan, sedangkan harta berkurang setiap kali diinfaqkan .

-Mencintai orang yang berilmu (ulama) bagian dari agama, cinta yang mendekatkan diri kepada Allah.

-Ilmu menjadikan orang yang memilikinya menjadi seorang yang ditaati semasa hidupnya dan disebut dengan kebaikan setelah matinya.

-Apa yang dihasilkan oleh harta akan hilang bersama kemusnahannya.

-Orang yang menumpuk harta, (nama) mereka mati sedang dalam keadaan hidup (jasadnya), dan para ulama akan tetap ada selamanya; jasad mereka musnah, tapi sifat-sifat teladan mereka hidup di dalam hati-hati manusia.

Takhrij Atsar:

Atsar yang sebenarnya panjang ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim Al-Ashfahaani dalam Hilyatul Auliya' (1/79), dan Al-Khathiib Al-Baghdaady dalam Taarikh Baghdaad (6/379).

Pada sanadnya, ada rawi yang dibicarakan oleh ulama tentang kelemahannya. Namun Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa kemasyhuran (dikenalnya) atsar ini diantara ulama sudah cukup (sebagai sandaran), sehingga tidak perlu melihat sanadnya. (Lihat I'laamul Muwaqqi'iin 2/195).

Penjelasan Atsar ini:

Di masa Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu darul khilafah (pusat pemerintahan) yang sebelumnya berada di Madinah, berpindah ke Kuufah, salah satu kota di Iraq. Disana beliau memiliki murid-murid yang mengambil ilmu dari beliau. Diantaranya adalah Kumail bin Ziyad An-Nakha'i Al-Kuufi rahimahullah, seorang tabi'in, meninggal tahun 82 H, yang telah dinilai tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, namun beliau dianggap memiliki paham tasyayyu' (keyakinan mengedepankan Ali di atas 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhuma). Beliau meriwayatkan hadist dari Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abu Thalib, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Mas'uud radhiyallahu 'anhum. Diantara rawi yang meriwayatkan dari beliau: Abu Ishaq Al-Hamadaani, Sulaiman bin Mihraan Al-A'masy dan lain-lain.

"Wahai Kumail bin Ziyaad! Hati adalah wadah, maka hati yang paling baik adalah yang paling banyak menampung (kebaikan)"

Hati adalah wadah, yaitu tempat untuk menampung ilmu. Ini menunjukkan kedudukan dan peran hati dalam menimba ilmu agama, yaitu sebagai wadah. Ini adalah isyarat supaya seorang penuntut ilmu memperhatikan hatinya dan menjaga kebersihannya; supaya menjadi wadah yang baik bagi ilmu yang dia dapatkan.

Ibarat rumah apabila bersih, rapi, nyaman, tentu akan betah orang yang tinggal di dalamnya; sebaliknya rumah yang kotor dan berantakan, berkeliaran kecoak dan tikus, berbau dan lain-lain; tentunya orang tidak akan betah tinggal didalamnya.

Demikian pula hati sebagai tempat ilmu, apabila bersih akan menetap ilmu yang masuk, dan apabila kotor dengan kemaksiatan dan dosa maka ilmu tersebut tidak akan betah bertempat tinggal di hati tersebut. Semakin kotor hatinya semakin tidak betah padanya.

Oleh karena itu seorang penuntut ilmu hendaknya menjauhi dosa dan maksiat; baik maksiat dengan melihat, mendengar, berbicara, atau dosa dengan hati seperti membayangkan (sesuatu yang diharamkan) , hasad, sombong dan lain-lain. Apabila melakukan dosa maka hendaknya dia segera membersihkan hati dengan memperbanyak istighfar dan bertaubat. Yang demikian itu, supaya dia dimudahkan oleh Allah untuk menerima ilmu agama, menghafalnya, dan memahaminya. Tidak mungkin seseorang bisa menggapai ilmu agama yang bermanfaat hanya dengan menghadiri majelis ilmu, membaca, menghafal saja, tapi harus menjaga kebersihan wadahnya dengan meninggalkan kemaksiatan.

Inilah rahasia kuatnya hafalan para salaf dan para ulama, sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan mereka sendiri.

Imam Asy-Syafi'iy rahimahullah mengatakan:

شَكَوْتُ إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ المعَاصي
وَأخْبَرَنِي بأَنَّ العِلْمَ نُورٌ ونورُ الله لا يهدى لعاصي
-Aku mengadu kepada Waki' (yaitu Waki' bin Al-Jarraah Ar-Ru'aasy, guru Imam Asy-Syafi'i) tentang buruknya hafalanku ; maka beliau menasehatiku supaya aku meninggalkan kemaksiatan

-Dan beliau mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya ; dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.

Waki' bin Al-Jarraah rahimahullah juga pernah berkata kepada Ali bin Khasyram:

اسْتَعِنْ عَلَى الْحِفْظِ بِقِلَّةِ الذُّنُوْبِ
"Bantulah dirimu dalam menghafal dengan hanya memiliki sedikit dosa (mengurangi dosa)". (Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu'abul Iman 2/272 no: 1734 )

Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah juga pernah ditanya: Bagaimana caramu mendapatkan hafalan (yang kuat)? Beliau berkata: بِتَرْكِ الْمَعَاصِيْ

"(Aku mendapatkan hafalan yang kuat) dengan meninggalkan kemaksiatan" (Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu'abul Iman 2/272 no: 1735)

" Hafalkanlah apa yang akan aku katakan kepadamu"

"Manusia ada tiga (golongan) "

Ini adalah hasil pengamatan Ali radhiyallahu 'anhu, bahwa manusia tidak keluar dari 3 golongan ini. Dan yang dimaksud dengan manusia disini –wallahu a'lam- adalah umat islam.

"Alim Rabbani (ulama) "

Ini adalah golongan pertama dan tertinggi tingkatannya, yaitu golongan alim rabbani, mereka adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan mengajarkannya kepada orang lain secara bertahap (dari tingkat yang paling rendah, kemudian ilmu yang lebih tinggi dari sebelumnya). Seorang 'alim yang tidak mengamalkan; tidak dinamakan rabbani meskipun ia ajarkan ilmunya kepada orang lain. Dan seorang 'alim yang mengamalkan ilmunya apabila tidak diajarkan kepada orang lain juga tidak dinamakan rabbani.

"Penuntut ilmu yang berada di atas jalan keselamatan"

Golongan kedua adalah golongan para penuntut ilmu, yang mereka sedang menempuh jalan keselamatan. Penuntut ilmu agama yang memiliki niat yang benar dan mengamalkan dialah yang dimaksud oleh Amirul Mukminin radhiyallahu 'anhu.

"Dan orang awam yang mengikuti setiap orang yang berteriak (seruan), mereka condong sesuai dengan arah angin (kemanapun diarahkan) , tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu, dan tidak berpegangan dengan pegangan yang kuat "

Ini adalah golongan ketiga, yaitu golongan orang-orang awam, mereka bukan orang alim, atau orang yang berusaha untuk menjadi orang alim (yaitu muta'allim). Keadaan mereka seperti yang beliau sifatkan, hamajun ri'aa', orang-orang yang dungu, mengikuti setiap orang yang berteriak , artinya setiap ada yang datang mengajak kepada sesuatu maka dia mengikutinya, tidak mempertimbangkan baik buruknya dan benar salahnya.

" mereka condong sesuai dengan arah angin" seperti pohon yang lemah, yang senantiasa mengikuti arah angin.

"tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu dan tidak berpegangan dengan pegangan yang kuat " setelah menyebutkan keadaan golongan ketiga; beliau menyebutkan dua sebab kenapa mereka menjadi demikian, yang pertama karena tidak berusaha menyinari hatinya dengan cahaya ilmu, ridha dengan kejahilan, akibatnya menjadi orang yang tidak memiliki pendirian yang kuat. Berbeda dengan orang yang memiliki ilmu, dimana ia berjalan bersamanya ilmu yang ia miliki, Allah berfirman:

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا ) الأنعام/122)

"Apakah orang yang dulunya mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan, dan Kami berikan kepadanya cahaya (ilmu dan hidayah) yang dia berjalan dengan cahaya tersebut ditengah-tengah manusia, apakah sama dia dengan orang yang berada di dalam kegelapan-kegelapan (kesesatan) yang dia tidak bisa keluar darinya" (QS. Al-An'aam:122)

Yang kedua karena tidak mau bertanya kepada orang yang berilmu, sehingga akhirnya tersesat.

Golongan yang ketiga ini meski jumlahnya yang paling banyak, mereka adalah golongan yang paling rendah derajatnya disisi Allah. Bahkan kalau diperhatikan, tidaklah terjadi fitnah dan kekacauan di sebuah negeri kecuali berasal dari golongan yang ketiga ini.

Di dalam pembagian manusia menjadi tiga golongan tersebut, terdapat dorongan dan anjuran bagi kaum muslimin untuk menuntut ilmu agama, dan mengingatkan mereka supaya jangan menjadi orang yang jahil terhadap agama, sehingga mudah terpengaruh dengan kesesatan. (bersambung...)

Abdullah Roy
Read More......

Selasa, 10 Januari 2012

Berdalil Dengan Mimpi

Termasuk hal yang kita ketahui bersama bahwa kebenaran yang wajib kita ikuti adalah kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berupa wahyu yang berasal dari Allah ta'aalaa. Hanya dengan inilah dibangun syariat, baik yang berkaitan dengan aqidah (keyakinan) atau ahkam (hukum-hukum).
Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu:
((أنَّ الحقَّ الذي لا باطلَ فيه هو ما جاءت به الرسلُ عن الله، وذلك في حقِّنا، ويعرف بالكتاب والسنة والإجماع، وأمَّا ما لم تجئ به الرسلُ عن الله؛ أو جاءت به ولكن ليس لنا طريقٌ موصِلَةٌ إلى العلم به ففيه الحقُّ والباطلُ، فلهذا كانت الحجةُ الواجبةُ الاتباعِ للكتاب، والسنة، والإجماع؛ فإنَّ هذا حقٌّ لا باطلَ فيه))
"Sesungguhnya kebenaran yang tidak ada kebathilan di dalamnya adalah apa yang dibawa oleh para rasul dari Allah. Dan dalam agama kita dikenal dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-Ijma'. Adapun sesuatu yang tidak berasal dari para rasul yang bersumber dari Allah ta'aalaa ; atau yang berasal dari mereka akan tetapi tidak ada jalan untuk mengetahuinya maka di dalamnya ada kebenaran dan kebathilan. Oleh karena itu hujjah yang wajib diikuti hanyalah Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-ijma'; karena ini adalah kebenaran yang tidak kebathilan di dalamnya" (Majmu' Al-Fatawa 5/19)
Dan termasuk wahyu adalah mimpi para nabi, karena sesungguhnya mimpi para nabi adalah dari Allah semata, yang dibangun di atasnya syariat. Adapun mimpi dari selain mereka maka tidak boleh dibangun syariat di atasnya.

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
((ورؤيا الأنبياء وحيٌ؛ فإنها معصومةٌ من الشيطان، وهذا باتفاق الأمة، ولهذا أقدم الخليلُ على ذبح ابنِهِ إسماعيل إ بالرؤيا، وأما رؤيا غيرهم فتُعْرَض على الوحي الصريح؛ فإن وافقتْه وإلاَّ لم يُعْمَلْ بها))
"Dan mimpi para Nabi adalah wahyu, karena mimpi mereka terjaga dari syetan; dan ini sudah menjadi kesepakatan umat (Islam); oleh karena itu Al-Khalil (Nabi Ibrahim 'alaihissalaam) mau menyembelih putranya Ismail 'alaihissalaam hanya karena mimpi. Adapun mimpi selain mereka maka harus dicocokkan dengan wahyu yang jelas; kalau cocok (maka diterima), kalau tidak maka tidak boleh diamalkan"(Madaarijussalikin 1/51)
Datang dalam Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa'imah :
((الرؤيا المناميَّةَ والفراسةَ من غير الأنبياء والرسل عليهم الصلاة والسلام لا تعتَبَرُ أصلًا في التشريع، ولا يجب التصديقُ بها، فإنَّ المناماِت والفراساتِ يكثُر فيها التخليطُ والتباسُ الصادقِ منها بالكاذب، فلا يعتمَدُ عليها، إلا إذا كانت من الرسل أو الأنبياء عليهم الصلاةُ والسلامُ))
"Mimpi dan firasat dari selain para nabi dan rasul 'alaihimussalaam tidak boleh dianggap sebagai sumber (dalil) dalam pensyariatan, tidak wajib membenarkannya; karena sesungguhnya mimpi dan firasat banyak mencampuradukkan dan menyamarkan antara yang benar dan yang dusta, maka tidak boleh bersandar kepadanya, kecuali apabila (mimpi dan firasat) tersebut dari para rasul atau nabi 'alaihimushshalaatu wassalaam" (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 9/155-156)
Namun sebagian orang telah menjadikan mimpi ini sebagai sumber diantara sumber-sumber mendapatkan ilmu; sehingga ada sebagian mereka yang mengkhususkan bab mimpi jenis ini dalam kitab-kitab mereka, seperti Al-Qusyairy dalam Risalahnya, dan Al-Kalaabaadzy dalam kitabnya At-Ta'arruf li Madzhabi Ahli At-Tashuwwuf.
Asy-Syathiby rahimahullah menyatakan bahwa orang-orang seperti ini adalah orang yang paling lemah hujjahnya. (Lihat Al-I'tisham 2/85)
Kebanyakan mereka mengaku bermimpi melihat Allah ta'aalaa, atau melihat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihiwasallam, atau melihat syeikh mereka, kemudian membangun beberapa perkara di atas mimpi tersebut, seperti: mengetahui tafsir ayat, mengetahui keshahihan sebuah hadits, mengetahui pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah fiqh, mengetahui keutamaan seseorang, dzikir dan doa tertentu, membenarkan aqidah mereka yang rusak, membenarkan cara ritual mereka dan lain-lain . (Lihat Al-Mashadir Al-'Aammah li At-Talaqqi 'Inda Ash-Shufiyyah 'Ardhan Wa Naqdan, Shaadiq Salim Shaadiq hal. 313-326 )
Tidak kita ragukan lagi bahwa keyakinan seperti ini salah dan menyimpang dari agama islam yang murni, alasannya bisa kita ringkas dalam beberapa poin berikut ini:
Pertama: Agama kita sudah sempurna sehingga tidak perlu mimpi-mimpi untuk menetapkan sebuah perkara agama.
Allah ta'aalaa berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
"Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian" (QS. Al-Maidah:3)
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika haji Wada' tahun ke 10 H. telah menjadikan sahabat saat itu sebagai saksi bahwa beliau telah menyampaikan risalah dari Allah dengan sebaik-baiknya; kemudian beliau mengatakan: "Ya Allah saksikanlah (bahwa aku telah menyampaikan risalah)" (HR. Muslim 2/322 no.1218, dari hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhumaa)
Oleh karena itu tidak ada satu perkara dalam agama yang dibutuhkan manusia kecuali sudah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam jelaskan kepada kita.
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
((قد تركتُكم على البيضاءِ، ليلُها كنهارِها، لا يَزِيْغُ عنها بعدي إلا هالِكٌ))
"Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas (jalan) yang putih (terang benderang), malamnya seperti siangnya, tidak menyimpang darinya kecuali orang yang binasa" (HR. Ibnu Majah 1/16 no: 43 dari sahabat Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu, dishahihkan oleh Al-Hakim, dan didiamkan oleh Adzdzahabi, lihat Al-Mustadrak 1/165 no.331, dan disebutkan Syeikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah 2/610 no.937).
Dijadikannya mimpi sebagai sumber dalam beragama pada hakekatnya adalah pendustaan terhadap kabar Allah dan tuduhan kepada Nabi Muhammad bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak menyampaikan semua risalah yang telah dibebankan kepada beliau.
Asy-Syathiby rahimahullahu menyebutkan bahwa menetapkan hukum dengan mimpi mengharuskan adanya pembaharuan wahyu setelah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan ini tertolak berdasarkan ijma' ulama. (Lihat Al-I'tisham 2/81)
Berkata Asy-Syaukany rahimahullahu:
((ولا يخفاك أنَّ الشرعَ الذي شرَعه اللهُ لنا على لسان نبيِّنا r قد كمَّله اللهُ ﻷ ، وقال: (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ ) المائدة :3، ولم يأتِنَا دليلٌ يدُلُّ على أنَّ رؤيتَه في النوم بعد موته r إذا قال فيها بقولٍ أو فَعَلَ فيها فعلاً يكون دليلاً وحجَّةً، بل قَبَضَهُ الله إليه عند أنْ كَمَّلَ لهذه الأمة ما شَرَعَه لها على لسانِه، ولم يبق بعد ذلك حاجةٌ للأمة فى أمرِ دينها، وقد انقطعت البعثةُ لتبليغ الشرائع وتبيينِها بالموت، وإن كان رسولاً حيًّا وميتًا، وبهذا تعلَمُ أنْ لو قدَّرْنَا ضبطَ النائم لم يكن ما رآه مِنْ قوله r أو فِعْلِه حُجَّةً عليه، ولا على غيره مِنَ الأمة))
"Tidak samar bagimu bahwa syariat yang Allah syariatkan untuk kita dengan lisan Nabi kita shallallahu 'alaihi wasallam telah Allah 'azza wa jalla sempurnakan, Allah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
"Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian" (QS. Al-Maidah:3)
Dan tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang apabila bermimpi melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah beliau meninggal; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan sesuatu atau melakukan sesuatu; kemudian (ucapan dan perbuatan) tersebut menjadi dalil dan hujjah. Allah telah mencabut nyawa beliau ketika Allah telah menyempurnakan syariat-Nya untuk ummat ini dengan lisan Nabi-Nya. Dan setelah itu ummat sudah tidak butuh lagi tambahan dalam urusan agamanya. Sudah terputus tugas untuk menyampaikan risalah dengan kematian beliau, meskipun beliau tetap sebagai seorang rasul baik ketika hidup ataupun sesudah matinya. Dengan demikian kamu mengetahui bahwa seandainya ada seseorang yang mengingat benar mimpinya; maka apa yang dia lihat dalam mimpi tersebut; baik berupa ucapan Nabi shallallahu 'alaihiwasallam atau perbuatan beliau; tidak bisa dijadikan hujjah atas dirinya dan atas orang lain"( Irsyadul Fuhuul Ilaa Tahqiiqil Haqqi Min 'Ilmil Ushuul 2/1020-1021)
Kedua: Menetapkan sebuah hukum dengan mimpi saja adalah menyelisihi ijma' (kesepakatan ulama).
Al-Qadhi 'Iyadh rahimahullah telah menukil ijma' bahwa tidak boleh kita bersandar kepada mimpi dalam menetapkan hukum-hukum syariat. (Tharhu At-Tatsriib, Al-Qadhi 'Iyadh 8/215)
Dan telah berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu:
((وَالرُّؤْيَا المحْضةُ الَّتِي لا دليلَ يَدُلُّ على صحَّتِهَا لا يَجُوزُ أن يُثْبَتَ بها شَيْءٌ بالاتفاق))
"Dan mimpi yang tidak ada dalil atas kebenarannya; tidak boleh suatu hukum agama ditetapkan dengannya berdasarkan kesepakatan para ulama" ( Majmu' Al-Fatawa 27/458)
Ketiga: Mimpi selain para nabi dan rasul tidak ma'shum (terjaga dari kesalahan).
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
((ورؤيا الأنبياء وحيٌ؛ فإنها معصومةٌ من الشيطان، وهذا باتفاق الأمة))
"Dan wahyu para Nabi adalah wahyu, karena mimpi mereka terjaga dari syetan; dan ini sudah menjadi kesepakatan umat (islam)" (Madarijussalikin 1/51)
Dengan demikian mimpi selain para nabi ada kemungkinan tidak benar, karena ada kemungkinan orangnya berdusta, atau mimpi tersebut dari syetan, atau mimpi tersebut adalah kejadian yang terbawa mimpi.
Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:
(( فأمَّا المناماتُ فكثيرٌ منها بل أكثرُها كذِبٌ... فرَاِئيْ المنام غالبًا ما يكون كاذبًا؛ وبتقدير صدقه فقد يكون الذي أخبره بذلك شيطان))
"Adapun mimpi-mimpi maka banyak atau sebagian besarnya adalah dusta…, yang mengaku bermimpi pada umumnya pendusta, seandainya dia jujurpun maka terkadang yang datang kepadanya adalah syetan" (Majmu' Al-Fatawa 27/457-458)
Dengan demikian dalam menilai sebuah mimpi maka kita harus kembali kepada dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah, apabila sesuai maka yang dipakai untuk menentukan hukum adalah dalil tersebut bukan mimpinya; karena hukum-hukum agama tidak dibangun di atas mimpi.
Dan apabila mimpi tersebut menyelisihi dalil maka mimpi tersebut ditolak, bagaimanapun keshalihan orang yang bermimpi tersebut atau bagaimanapun kejelasan apa yang dia lihat; dan kita harus meyakini bahwa mimpi tersebut dusta dan berasal dari syetan atau hanya sekedar mimpi kosong belaka.
Faidah (manfaat) mimpi :
Faidah mimpi hanyalah sebatas peringatan atau kabar gembira, sehingga hal tersebut mendorong dirinya untuk melakukan yang baik atau meninggalkan yang buruk.
Berkata Asy-Syathiby rahimahullahu:
((...لأنَّ الرؤيا مِن غيرِ الأنبياء لا يُحْكَمُ بها شرعًا على حالٍ؛ إلاَّ أنْ نَعْرِضَها على ما في أيدِيْنا من الأحكام الشرعِيَّة، فإنْ سَوَّغَتْها عُمِلَ بمقتضاها؛ وإلا وجب تركُها والإعراضُ عنها، وإنما فائدتها البشارةُ والنذارةُ خاصَّةً، وأما استفادةُ الأحكام فلا))
"… Sesungguhnya mimpi dari selain para Nabi secara syara'i tidak boleh dijadikan landasan untuk menghukumi perkara apapun; kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat; apabila diperbolehkan maka bisa diamalkan; bila tidak diperbolehkan maka wajib ditinggalkan dan berpaling darinya. Faidah dari mimpi tersebut hanyalah memberi kabar gembira atau peringatan; adapun menentukan sebuah hukum dengannya maka tidak boleh sama sekali" (Al-I'tisham 2/78)
Berkata Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allimy (wafat tahun 1386 H) rahimahullahu:
((اتفق أهلُ العلم على أنَّ الرؤيا لا تصلح للحجة، وإنما تبشير وتنبيه، وتصلح للاستئناس بها إذا وافقت حجة شرعية صحيحة))
"Para ulama telah bersepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan, dan bisa juga kita ambil ibrah apabila sesuai dengan dalil syar'i yang shahih" (At-Tankiil 2/242)
Keempat: Cara mengetahui yang halal dan yang haram, serta mengetahui aqidah dengan mimpi adalah cara yang dipakai oleh orang nashrani.
Berkata Abu Abdillah Al-Qurthuby (wafat tahun 671 H) rahimahullahu:
((فإن معظم معتمدهم في أمور دياناتهم إنما هو الإنجيل، ونقله غير متواتر لا سيما والأحداث عندهم في أكثر الأحيان بمنامات يدعونها، يجعلونها أصولاً يعولون عليها))
"Sesungguhnya sebagian besar keyakinan mereka (orang nashrani) dalam masalah agama berdasarkan injil yang penukilannya tidak mutawatir, terlebih-lebih dalam meriwayatkan kejadian-kejadian tersebut kebanyakannya dengan mimpi, kemudian menjadikan mimpi tersebut sebagai ushul (dalil)" (Al-I'laamu bimaa fii Diini An-Nashaaraa Minal Fasaadi Wal Auhaam, Al-Qurthuby 2/246)
Doktor Muhammad Dhiya' Al-A'zhami mengatakan:
((كَتَب هذا السِفْرَ صاحبُ الإنجيل يوحنا في عهد إمبراطور الدولة الرومانية الغربية عام 81م إلى 96م. وهو رؤيا منامية ادعاها يوحنا، وادعى أنه أوحى إليه فيها كثير من حقائق الديانة المسيحية، وأحداث المستقبل))
"Kitab (mimpi) ini ditulis oleh Yohana (penulis injil) di masa Imperatur Romawi Barat tahun 81 Masehi sampai tahun 96 Masehi, kitab ini berisi mimpi-mimpi yang dialami oleh Yohana, dan dia mengaku bahwasanya wahyu turun kepadanya, mimpi-mimpi tersebut berisi tentang beberapa hakikat agama nashrani dan kejadian-kejadian yang akan datang" (Diraasaat Fil Yahuudiyyah wal Masiihiyyah wa Adyaanil Hindi hal. 391)
Wallahu ta'aalaa a'lam.


Abdullah Roy Read More......