Tanya: Apakah seorang istri setelah mens selesai harus mandi besar dulu sebelum melakukan hubungan? Bolehkah di ganti dengan membasuh dan berwudhu? Toh setelah berhubungan baik istri dan suami diharuskan mandi besar? Hal ini terkait biasanya istri suka pusing kalau harus membasahi kepala, dan suami sudah agak tidak sabar, dan mandi besar kadang dijadikan alasan tuk menolak "Belum mandi besar, jadi ntar dulu yah !" (TB)
Jawab: Alhamdulillah rabbil 'aalamin, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillah khairil anbiya walmursaliin. Amma ba'du:
Seorang istri apabila telah berhenti darah haidhnya maka tidak boleh didatangi kecuali setelah dia mandi besar.
Allah ta'aalaa berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ [البقرة/222]
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sampai mereka suci (berhenti darah haidhnya). Maka apabila mereka telah bersuci (mandi), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. 2:222)
Sebagian salaf seperti Mujahid, 'Ikrimah dan yang lain rahimahumullah memaknai (يطهرن) dengan انقطاع الدم (berhentinya darah) dan memaknai (تطهرن) dengan (اغتسلن) (mandi). (Lihat perkataan mereka di Tafsir Ath-Thabary 3/731-734, tahqiq Abdullah At-Turki )
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan :
وقد اتفق العلماء على أن المرأة إذا انقطع حيضُها لا تحل حتى تغتسل بالماء أو تتيمم، إن تعذر ذلك عليها بشرطه، إلا يحيى بن بكير من المالكية وهو أحد شيوخ البخاري، فإنه ذهب إلى إباحة وطء المرأة بمجرد انقطاع دم الحيض
"Dan sungguh para ulama telah bersepakat bahwa seorang wanita apabila telah terputus haidhnya maka tidak halal sampai dia mandi dengan air atau tayammum -jika tidak memungkinkan mandi dengan syarat yang sudah ditentukan dalam tayammum- kecuali Yahya bin Bukair dari ulama madzhab Maliki, salah satu guru Al-Bukhary, beliau berpendapat bolehnya mendatangi wanita hanya dengan berhentinya darah haidh" (Tafsir Ibnu Katsir 2/304, Mu'assasah Qurthubah)
Datang dalam Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah:
فلم يأذن سبحانه في وطء الحائض حتى ينقطع دم حيضها وتتطهر أي تغتسل، ومن وطئها قبل الغسل أثم وعليه الكفارة
"Maka Allah subhanahu tidak memberi izin untuk mendatangi wanita yang haidh sehingga berhenti darah haidhnya dan mandi, barangsiapa yang mendatanginya sebelum mandi maka dia berdosa dan berkewajiban membayar kaffarah" (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daimah 5/399)
Wallahu ta'aalaa a'lam.
Read More......
Senin, 24 Mei 2010
Sabtu, 22 Mei 2010
Orang Kafir Yang Sudah Dikhitan, Wajibkah Khitan Kembali Ketika Masuk Islam?
Tanya: Assalamu'alaikum, mohon penjelasan berkaitan dengan khitan, apakah seorang pria yang baru menjadi muslim harus di khitan ulang saat menjadi muslim, sebelumnya saat masih belum menjadi muslim telah dikhitan. Terimakasih. (Dimas Ari)
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Alhamdulillah, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillah. Ammaa ba'du:
Diantara hikmah disyari'atkannya khitan bagi laki-laki adalah menghilangkan najis yang menempel di kulit yang menutupi ujung kemaluan. Apabila orang kafir sudah dikhitan dengan sempurna ketika dia masih kafir maka dia tidak perlu dikhitan kembali ketika masuk islam karena sebabnya sudah tidak ada.
Oleh karenanya tidak semua shahabat radhiyallahu 'anhum ketika masuk islam diperintah untuk khitan, bahkan banyak diantara mereka yang tidak diperintah karena sudah khitan sebelum islam, seperti para sahabat yang berasal dari bangsa Arab, yang mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim 'alaihissalam, masih tersisa beberapa ajaran beliau yang terjaga dan belum luntur, dan masih dikerjakan orang-orang musyrik jahiliyyah, diantaranya adalah khitan.
Wallahu a'lam. Read More......
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Alhamdulillah, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillah. Ammaa ba'du:
Diantara hikmah disyari'atkannya khitan bagi laki-laki adalah menghilangkan najis yang menempel di kulit yang menutupi ujung kemaluan. Apabila orang kafir sudah dikhitan dengan sempurna ketika dia masih kafir maka dia tidak perlu dikhitan kembali ketika masuk islam karena sebabnya sudah tidak ada.
Oleh karenanya tidak semua shahabat radhiyallahu 'anhum ketika masuk islam diperintah untuk khitan, bahkan banyak diantara mereka yang tidak diperintah karena sudah khitan sebelum islam, seperti para sahabat yang berasal dari bangsa Arab, yang mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim 'alaihissalam, masih tersisa beberapa ajaran beliau yang terjaga dan belum luntur, dan masih dikerjakan orang-orang musyrik jahiliyyah, diantaranya adalah khitan.
Wallahu a'lam. Read More......
Selasa, 04 Mei 2010
ASI Di Gelas, Apakah Menjadikan Anak Yang Meminumnya Anak Susuan?
Tanya: Assalamu'alaikum. Ustadz, ana mau tanya : Kalo ASI yang disimpan di gelas, lalu diberikan/diminumkan kepada seorang anak di bawah 2 tahun, sebanyak lima kali atau lebih dan sampai kenyang, apakah memenuhi syarat menjadi saudara sepersusuan? Jazakallahu khairan. Baarakallaahu fikum. Wassalamu'alaikum. (Abu Mujahid)
Jawab: Wa'alaikumsalaamwarahmatullaahi wabarakaatuhu. Wa fiikum barakallaahu.
Alhamdulillaah washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillah, wa ba'du.
Jumhur ulama mengatakan bahwa semua cara menyusui menjadikan anak tersebut anak susuan, apabila terpenuhi semua syarat-syarat (anak di bawah 2 tahun, lima kali atau lebih menyusu), mereka tidak membedakan apakah anak tersebut menyusu langsung, atau tidak langsung (dari gelas misalnya). (Lihat Badai'ush Shanai' 4/9, Al-Mudawwanah 2/299, Al-Umm 6/76, Al-Majmu' 18/220, dan Al-Mughny 11/313)
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لا رضاع إلا ما شد العظم وأنبت اللحم
"Tidak termasuk menyusui kecuali susu yang membentuk tulang dan menumbuhkan daging" (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Segi pendalilannya bahwa ASI yang diminum dengan memakai gelas juga bisa membentuk tulang dan menumbuhkan daging, dengan demikian hukumnya sama dengan ASI yang diminum langsung dari payudara ibunya.
Demikian pula kisah Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) radhiyallahu 'anhaa ketika Salim bin Ma'qil (bekas budak Sahlah yang diambil anak oleh Abu Hudzaifah) sudah dewasa dan sering masuk ke rumah mereka, kemudian mereka merasa tidak enak dengan keberadaan Salim, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Sahlah untuk menyusui Salim supaya menjadi anak susuannya (dan ini adalah kekhususan Sahlah ketika menyusui Salim) seraya bersabda
أرضعيه تحرمي عليه
"Susuilah dia maka dia menjadi haram atasmu (menjadi mahram)" (HR. Muslim)
Hadist ini menunjukkan bahwa Salim radhiyallahu 'anhu tidak langsung menyusu dari Sahlah karena saat itu dia bukan mahram Sahlah, ini menunjukkan bahwa meminum ASI secara tidak langsung hukumnya sama dengan meminum langsung.
Berkata Al-Qadhy 'Iyadh rahimahullah:
ولعله هكذا كان رضاع سالم، يصبه في حلقه دون مسه ببعض أعضائه ثدي امرأة أجنبية
"Mungkin demikian yang terjadi ketika menyusui Salim, susu sampai ke tenggorokannya tanpa menyentuh payudara wanita asing dengan sebagian anggota badannya " (Ikmaalul Mu'lim 4/641)
Berkata An-Nawawy rahimahullahu:
وهذا الذي قاله القاضي حسن
"Dan apa yang dikatakan Al-Qadhy ini baik" (Syarh Shahih Muslim 10/31).
Wallahu a'lam. Read More......
Jawab: Wa'alaikumsalaamwarahmatullaahi wabarakaatuhu. Wa fiikum barakallaahu.
Alhamdulillaah washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillah, wa ba'du.
Jumhur ulama mengatakan bahwa semua cara menyusui menjadikan anak tersebut anak susuan, apabila terpenuhi semua syarat-syarat (anak di bawah 2 tahun, lima kali atau lebih menyusu), mereka tidak membedakan apakah anak tersebut menyusu langsung, atau tidak langsung (dari gelas misalnya). (Lihat Badai'ush Shanai' 4/9, Al-Mudawwanah 2/299, Al-Umm 6/76, Al-Majmu' 18/220, dan Al-Mughny 11/313)
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لا رضاع إلا ما شد العظم وأنبت اللحم
"Tidak termasuk menyusui kecuali susu yang membentuk tulang dan menumbuhkan daging" (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Segi pendalilannya bahwa ASI yang diminum dengan memakai gelas juga bisa membentuk tulang dan menumbuhkan daging, dengan demikian hukumnya sama dengan ASI yang diminum langsung dari payudara ibunya.
Demikian pula kisah Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) radhiyallahu 'anhaa ketika Salim bin Ma'qil (bekas budak Sahlah yang diambil anak oleh Abu Hudzaifah) sudah dewasa dan sering masuk ke rumah mereka, kemudian mereka merasa tidak enak dengan keberadaan Salim, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Sahlah untuk menyusui Salim supaya menjadi anak susuannya (dan ini adalah kekhususan Sahlah ketika menyusui Salim) seraya bersabda
أرضعيه تحرمي عليه
"Susuilah dia maka dia menjadi haram atasmu (menjadi mahram)" (HR. Muslim)
Hadist ini menunjukkan bahwa Salim radhiyallahu 'anhu tidak langsung menyusu dari Sahlah karena saat itu dia bukan mahram Sahlah, ini menunjukkan bahwa meminum ASI secara tidak langsung hukumnya sama dengan meminum langsung.
Berkata Al-Qadhy 'Iyadh rahimahullah:
ولعله هكذا كان رضاع سالم، يصبه في حلقه دون مسه ببعض أعضائه ثدي امرأة أجنبية
"Mungkin demikian yang terjadi ketika menyusui Salim, susu sampai ke tenggorokannya tanpa menyentuh payudara wanita asing dengan sebagian anggota badannya " (Ikmaalul Mu'lim 4/641)
Berkata An-Nawawy rahimahullahu:
وهذا الذي قاله القاضي حسن
"Dan apa yang dikatakan Al-Qadhy ini baik" (Syarh Shahih Muslim 10/31).
Wallahu a'lam. Read More......
Sabtu, 27 Maret 2010
Wanita Yang Junub Kemudian Datang Haidh, Wajibkah Mandi Janabah?
Tanya: Assalamualaikum. Ustadz-barokallohu fik, apabila seorang wanita bersenggama kemudian ketika akan mandi janabah dia terkena haidh. Apakah masih wajib baginya mandi janabah? (Abu Harun)
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu. Wa fiikum baarakallah.
Alhamdulillah, wa shallallahu 'ala muhammadin wa aalihii wa sallam.
Apabila seorang wanita mengalami junub kemudian sebelum mandi datang haidh maka dia tidak berkewajiban mandi janabah, dan boleh mengakhirkannya sampai berhenti dari haidhnya, karena wanita haidh tidak mengerjakan shalat sehingga tidak wajib baginya segera bersuci dari hadats besar.
Berkata Imam Asy-Syafi'iy rahimahullahu ta'aalaa:
إذا أصابت المرأة جنابة ثم حاضت قبل أن تغتسل من الجنابة لم يكن عليها غسل الجنابة وهي حائض، لأنها إنما تغتسل فتطهر بالغسل وهي لا تطهر بالغسل من الجنابة وهي حائض، فإذا ذهب الحيض عنها أجزأها غسل واحد، وكذلك لو احتلمت وهي حائض أجزأها غسل واحد، لذلك كله ولم يكن عليها غسل، وإن كثر احتلامها حتى تطهر من الحيض فتغتسل غسلاً واحداً
"Apabila seorang wanita mengalami junub kemudian datang haidh sebelum mandi janabah maka dia tidak wajib mandi janabah sedangkan dia dalam keadaan haidh, karena dia mandi tujuannya adalah supaya suci, sedangkan wanita yang sedang haidh tidak akan suci dengan mandi karena junub. Maka apabila haidh sudah pergi cukup baginya mandi sekali. Demikian pula apabila mimpi basah sedangkan dia dalam keadaan haidh, cukup baginya mandi sekali untuk semuanya, tidak wajib atasnya mandi meskipun banyak mimpi basah sampai dia suci dari haidh kemudian mandi sekali"(Al-Umm 2/95)
Ibnu Qudamah Al-Hanbaly rahimahullahu ta'aalaa juga berkata :
إذَا كَانَ عَلَى الْحَائِضِ جَنَابَةٌ ، فَلَيْسَ عَلَيْهَا أَنْ تَغْتَسِلَ حَتَّى يَنْقَطِعَ حَيْضُهَا، نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ ، وَهُوَ قَوْلُ إِسْحَاقَ ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغُسْلَ لَا يُفِيدُ شَيْئًا مِنْ الْأَحْكَامِ ، فَإِنْ اغْتَسَلَتْ لِلْجَنَابَةِ فِي زَمَنِ حَيْضِهَا ، صَحَّ غُسْلُهَا ، وَزَالَ حُكْمُ الْجَنَابَةِ، نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ ، وَقَالَ : تَزُولُ الْجَنَابَةَ ، وَالْحَيْضُ لَا يَزُولُ حَتَّى يَنْقَطِعَ الدَّمُ
"Apabila seorang wanita yang sedang haidh mengalami junub maka dia tidak wajib mandi sampai terhenti haidhnya, ini adalah nash Ahmad dan perkataan Ishaq, yang demikian karena mandinya tidak berfaidah (berpengaruh) dalam hukum, apabila dia mandi karena junub ketika haidh maka sah mandinya dan terangkatlah junubnya, ini yang dinashkan oleh Ahmad, beliau berkata: Terangkat junubnya, adapun haidh maka tidak terangkat sehingga terhenti darahnya " (Al-Mughny 1/278)
Berkata Burhanuddin bin Maazah Al-Hanafy (wafat tahun 616 H) rahimahullahu:
وإذا أجنبت المرأة ثم أدركها الحيض فهي بالخيار إن شاءت اغتسلت؛ لأن فيه زيادة تنظيف وإزالة أحد الحدثين، وإن شاءت أخرت الاغتسال حتى تطهر؛ لأن الاغتسال للتطهير حتى تتمكن من أداء الصلاة، ألا ترى أن الجنب إذا أخر الاغتسال إلى وقت الصلاة لا يأثم، دل أن المقصود من الطهارة الصلاة، ومن لا يتمكن من الصلاة، فكان لها أن لا تغتسل.
"Dan apabila seorang wanita mengalami junub kemudian datang haidh maka dia diberi pilihan, bila dia mau silakan mandi, karena itu lebih bersih dan menghilangkan salah satu hadats, dan kalau mau maka silakan mengakhirkan mandi sampai suci dari haidh, karena mandi adalah bersuci untuk menunaikan ibadah shalat. Bukankan orang yang junub tidak berdosa apabila mengakhirkan mandi sampai masuk waktu shalat, ini menunjukkan bahwa maksud dari bersuci adalah untuk shalat. Dengan demikian barangsiapa yang belum bisa mengerjakan shalat maka boleh baginya untuk tidak mandi " (Al-Muhiith Al-Burhany 1/79)
Apabila dia ingin membaca Al-Quran maka wajib atasnya mandi untuk menghilangkan junubnya karena orang yang junub dilarang membaca Al-Quran. Lihat pembahasan masalah hukum wanita haidh membaca Al-Quran disini. Read More......
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu. Wa fiikum baarakallah.
Alhamdulillah, wa shallallahu 'ala muhammadin wa aalihii wa sallam.
Apabila seorang wanita mengalami junub kemudian sebelum mandi datang haidh maka dia tidak berkewajiban mandi janabah, dan boleh mengakhirkannya sampai berhenti dari haidhnya, karena wanita haidh tidak mengerjakan shalat sehingga tidak wajib baginya segera bersuci dari hadats besar.
Berkata Imam Asy-Syafi'iy rahimahullahu ta'aalaa:
إذا أصابت المرأة جنابة ثم حاضت قبل أن تغتسل من الجنابة لم يكن عليها غسل الجنابة وهي حائض، لأنها إنما تغتسل فتطهر بالغسل وهي لا تطهر بالغسل من الجنابة وهي حائض، فإذا ذهب الحيض عنها أجزأها غسل واحد، وكذلك لو احتلمت وهي حائض أجزأها غسل واحد، لذلك كله ولم يكن عليها غسل، وإن كثر احتلامها حتى تطهر من الحيض فتغتسل غسلاً واحداً
"Apabila seorang wanita mengalami junub kemudian datang haidh sebelum mandi janabah maka dia tidak wajib mandi janabah sedangkan dia dalam keadaan haidh, karena dia mandi tujuannya adalah supaya suci, sedangkan wanita yang sedang haidh tidak akan suci dengan mandi karena junub. Maka apabila haidh sudah pergi cukup baginya mandi sekali. Demikian pula apabila mimpi basah sedangkan dia dalam keadaan haidh, cukup baginya mandi sekali untuk semuanya, tidak wajib atasnya mandi meskipun banyak mimpi basah sampai dia suci dari haidh kemudian mandi sekali"(Al-Umm 2/95)
Ibnu Qudamah Al-Hanbaly rahimahullahu ta'aalaa juga berkata :
إذَا كَانَ عَلَى الْحَائِضِ جَنَابَةٌ ، فَلَيْسَ عَلَيْهَا أَنْ تَغْتَسِلَ حَتَّى يَنْقَطِعَ حَيْضُهَا، نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ ، وَهُوَ قَوْلُ إِسْحَاقَ ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغُسْلَ لَا يُفِيدُ شَيْئًا مِنْ الْأَحْكَامِ ، فَإِنْ اغْتَسَلَتْ لِلْجَنَابَةِ فِي زَمَنِ حَيْضِهَا ، صَحَّ غُسْلُهَا ، وَزَالَ حُكْمُ الْجَنَابَةِ، نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ ، وَقَالَ : تَزُولُ الْجَنَابَةَ ، وَالْحَيْضُ لَا يَزُولُ حَتَّى يَنْقَطِعَ الدَّمُ
"Apabila seorang wanita yang sedang haidh mengalami junub maka dia tidak wajib mandi sampai terhenti haidhnya, ini adalah nash Ahmad dan perkataan Ishaq, yang demikian karena mandinya tidak berfaidah (berpengaruh) dalam hukum, apabila dia mandi karena junub ketika haidh maka sah mandinya dan terangkatlah junubnya, ini yang dinashkan oleh Ahmad, beliau berkata: Terangkat junubnya, adapun haidh maka tidak terangkat sehingga terhenti darahnya " (Al-Mughny 1/278)
Berkata Burhanuddin bin Maazah Al-Hanafy (wafat tahun 616 H) rahimahullahu:
وإذا أجنبت المرأة ثم أدركها الحيض فهي بالخيار إن شاءت اغتسلت؛ لأن فيه زيادة تنظيف وإزالة أحد الحدثين، وإن شاءت أخرت الاغتسال حتى تطهر؛ لأن الاغتسال للتطهير حتى تتمكن من أداء الصلاة، ألا ترى أن الجنب إذا أخر الاغتسال إلى وقت الصلاة لا يأثم، دل أن المقصود من الطهارة الصلاة، ومن لا يتمكن من الصلاة، فكان لها أن لا تغتسل.
"Dan apabila seorang wanita mengalami junub kemudian datang haidh maka dia diberi pilihan, bila dia mau silakan mandi, karena itu lebih bersih dan menghilangkan salah satu hadats, dan kalau mau maka silakan mengakhirkan mandi sampai suci dari haidh, karena mandi adalah bersuci untuk menunaikan ibadah shalat. Bukankan orang yang junub tidak berdosa apabila mengakhirkan mandi sampai masuk waktu shalat, ini menunjukkan bahwa maksud dari bersuci adalah untuk shalat. Dengan demikian barangsiapa yang belum bisa mengerjakan shalat maka boleh baginya untuk tidak mandi " (Al-Muhiith Al-Burhany 1/79)
Apabila dia ingin membaca Al-Quran maka wajib atasnya mandi untuk menghilangkan junubnya karena orang yang junub dilarang membaca Al-Quran. Lihat pembahasan masalah hukum wanita haidh membaca Al-Quran disini. Read More......
Kamis, 25 Maret 2010
Berdoa Dengan Doa Dari Al-Quran Ketika Sujud
Tanya : Saya ibu rumah tangga dari Yogyakarta, tolong jelaskan maksud hadits Nabi shallallahu 'aklaihi wa sallam sebagai berikut: "Aku dilarang membaca Al Quran ketika rukuk dan sujud",sementara dalam sujud kita diperintahkan memperbanyak doa, karena saat itu adalah saat manusia/hamba paling dekat dengan Rabbnya, padahal doa-doa yang kita baca kan semua berasal dari Al-Qur'an. Demikian pertanyaan saya, terima kasih (Bq Anie Martiana, Yogyakarta)
Jawab: Alhamdulillah wahdah, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillah wa aalihi wa shahbihii ajma'iin.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وإني نهيت أن أقرأ القرآن راكعا أو ساجدا فأما الركوع فعظموا فيه الرب عز و جل وأما السجود فاجتهدوا في الدعاء فقمن أن يستجاب لكم
"Dan aku dilarang membaca Al-Quran ketika ruku' dan sujud. Adapun ketika ruku' maka hendaklah kalian mengagungkan Rabb 'azza wa jalla, dan ketika sujud maka hendaklah kalian bersungguh-sungguh dalam berdoa karena yang demikian lebih berhak/pantas dikabulkan doa kalian" (HR. Muslim, dari Ibnu 'Abbaas radhiyallahu 'anhuma)
Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan disini bersifat makruh (Lihat Al-Mughny 2/181, dan Al-Majmu' 3/411)
Berkata Az-Zaila'iy Al-Hanafy:
ويكره قراءة القرآن في الركوع والسجود والتشهد بإجماع الأئمة الأربعة
"Dan makruh membaca Al-Quran ketika ruku', sujud, dan tasyahhud dengan kesepakatan imam yang empat " (Tabyiinul Haqaiq Syarh Kanzi Ad-Daqaa'iq 1/115)
Dengan demikian, hukum seseorang membaca doa dari Al-Quran dalam sujud adalah kembali kepada niatnya, apabila dia membacanya dengan niat membaca Al-Quran maka hukumnya makruh dan apabila niatnya adalah berdoa saja maka diperbolehkan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرء ما نوى
"Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niat, dan bagi seseorang apa yang dia niatkan" (Muttafaqun 'alaihi)
Berkata Az-Zarkasyi rahimahullahu:
وَمَحَلُّ كَرَاهَتِهَا إذَا قَصَدَ بِهَا الْقِرَاءَةَ ، فَإِنْ قَصَدَ بِهَا الدُّعَاءَ ، وَالثَّنَاءَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ كَمَا لَوْ قَنَتَ بِآيَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ .
"Dan kemakruhan membaca Al-Quran ketika sujud adalah apabila dia bermaksud membaca Al-Quran, adapun apabila maksudnya adalah berdoa dan pujian maka itu seperti orang yang qunut ketika shalat dengan membaca sebuah ayat dari Al-Quran" (Asnaa Al-Mathaalib fii Syarhi Raudhi Ath-Thalib-Zakariya Al-Anshary 1/157 )
Komite Tetap untuk Fatwa dan Riset Ilmiyyah Saudi Arabia pernah ditanya tentang pertanyaan semakna dan mengatakan:
لا بأس بذلك إذا أتى بها على وجه الدعاء لا على وجه التلاوة للقرآن
"Tidak mengapa yang demikian (berdoa dengan doa dari Al-Quran ketika sujud) apabila membacanya dengan niat berdoa, bukan karena membaca Al-Quran" (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 6/441 , ditandatangani oleh Syeikh Abdul 'Aziz bin Baz, Syeikh Abdurrazzaq 'Afifi, Syeikh Abdullah bin Qu'ud, dan Syeikh Abdullah bin Ghudayyaan)
Perlu diketahui oleh penanya bahwa tidak semua doa yang kita baca berasal dari Al-Quran.
Wallahu ta'aalaa a'lam.
Read More......
Jawab: Alhamdulillah wahdah, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillah wa aalihi wa shahbihii ajma'iin.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وإني نهيت أن أقرأ القرآن راكعا أو ساجدا فأما الركوع فعظموا فيه الرب عز و جل وأما السجود فاجتهدوا في الدعاء فقمن أن يستجاب لكم
"Dan aku dilarang membaca Al-Quran ketika ruku' dan sujud. Adapun ketika ruku' maka hendaklah kalian mengagungkan Rabb 'azza wa jalla, dan ketika sujud maka hendaklah kalian bersungguh-sungguh dalam berdoa karena yang demikian lebih berhak/pantas dikabulkan doa kalian" (HR. Muslim, dari Ibnu 'Abbaas radhiyallahu 'anhuma)
Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan disini bersifat makruh (Lihat Al-Mughny 2/181, dan Al-Majmu' 3/411)
Berkata Az-Zaila'iy Al-Hanafy:
ويكره قراءة القرآن في الركوع والسجود والتشهد بإجماع الأئمة الأربعة
"Dan makruh membaca Al-Quran ketika ruku', sujud, dan tasyahhud dengan kesepakatan imam yang empat " (Tabyiinul Haqaiq Syarh Kanzi Ad-Daqaa'iq 1/115)
Dengan demikian, hukum seseorang membaca doa dari Al-Quran dalam sujud adalah kembali kepada niatnya, apabila dia membacanya dengan niat membaca Al-Quran maka hukumnya makruh dan apabila niatnya adalah berdoa saja maka diperbolehkan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرء ما نوى
"Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niat, dan bagi seseorang apa yang dia niatkan" (Muttafaqun 'alaihi)
Berkata Az-Zarkasyi rahimahullahu:
وَمَحَلُّ كَرَاهَتِهَا إذَا قَصَدَ بِهَا الْقِرَاءَةَ ، فَإِنْ قَصَدَ بِهَا الدُّعَاءَ ، وَالثَّنَاءَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ كَمَا لَوْ قَنَتَ بِآيَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ .
"Dan kemakruhan membaca Al-Quran ketika sujud adalah apabila dia bermaksud membaca Al-Quran, adapun apabila maksudnya adalah berdoa dan pujian maka itu seperti orang yang qunut ketika shalat dengan membaca sebuah ayat dari Al-Quran" (Asnaa Al-Mathaalib fii Syarhi Raudhi Ath-Thalib-Zakariya Al-Anshary 1/157 )
Komite Tetap untuk Fatwa dan Riset Ilmiyyah Saudi Arabia pernah ditanya tentang pertanyaan semakna dan mengatakan:
لا بأس بذلك إذا أتى بها على وجه الدعاء لا على وجه التلاوة للقرآن
"Tidak mengapa yang demikian (berdoa dengan doa dari Al-Quran ketika sujud) apabila membacanya dengan niat berdoa, bukan karena membaca Al-Quran" (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 6/441 , ditandatangani oleh Syeikh Abdul 'Aziz bin Baz, Syeikh Abdurrazzaq 'Afifi, Syeikh Abdullah bin Qu'ud, dan Syeikh Abdullah bin Ghudayyaan)
Perlu diketahui oleh penanya bahwa tidak semua doa yang kita baca berasal dari Al-Quran.
Wallahu ta'aalaa a'lam.
Read More......
Minggu, 21 Februari 2010
Berwudhu Di Kamar Mandi
Tanya: Assalamu'alaikum. Ustadz, ana mau tanya, bolehkah kita berwudhu di kamar mandi? (Indrawan Saputra)
Jawab:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillaah khairil anbiyaa'I wal mursaliin wa 'alaa 'aalihii wa shahbihii ajma'iin. Amma ba'du:
Boleh berwudhu di dalam kamar mandi, apabila aman dari percikan najis.
Berkata Komite Tetap Untuk Riset llmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:
إذا وضع حائل بين الماء الذي ينزل من الصنبور وبين محل النجاسة بحيث إن الماء إذا نزل على الأرض تكون هذه الأرض طاهرة فلا مانع من الوضوء والاستنجاء
"Apabila ada batas antara kran air dan antara tempat najisnya sehingga air turun ke tempat yang suci maka tidak mengapa berwudhu dan istinja' (di dalam kamar mandi tersebut)" (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 5/86)
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu:
يجوز الوضوء في الحمام ولا حرج فيه ولكن ينبغي للإنسان أن يتحفظ من إصابة النجاسة له فإذا تحفظ من ذلك فليتوضأ في أي مكان كان
"Boleh berwudhu di kamar mandi dan tidak masalah, akan tetapi hendaknya menjaga diri dari ditimpa najis, apabila bisa terjaga dirinya dari najis maka silakan dia berwudhu dimana saja" (http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_1637.shtml)
Beliau rahimahullahu juga berkata:
يجوز للإنسان أن يتوضأ في المكان الذي تخلى فيه من بوله أو غائطه لكن بشرط أن يأمن من التلوث بالنجاسة بأن يكون المكان الذي يتوضأ فيه جانباً من الحمام بعيداً عن مكان التخلي أو ينظف المكان الذي ينزل فيه الماء من الأعضاء في الوضوء حتى يكون طاهراً نظيفاً
"Boleh bagi seseorang berwudhu di tempat dia buang air kecil dan buang air besar, dengan syarat aman dari percikan najis, yaitu tempat wudhunya jauh dari tempat buang air, atau dibersihkan dahulu tempat turunnya air dari anggota badan sehingga menjadi bersih dan suci" (http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_1096.shtml)
Hukum membaca dzikir di kamar mandi
Membaca dzikir di kamar mandi makruh, karena berbicara di dalam kamar mandi hukumnya makruh dan membaca dzikir termasuk berbicara. Demikian pula kita diperintahkan untuk mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah dan diantara bentuk pengagungan adalah berdzikir di tempat yang suci bukan di tempat yang kotor dan membuang hajat.
Allah ta'aalaa berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (32) [الحج/32]
"Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu termasuk ketaqwaan hati. (QS. 22:32)"
Berkata Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma:
يكره أن يذكر الله وهو جالس على الخلاء
"Dibenci seseorang dzikrullah sedangkan dia dalam keadaan duduk di dalam jamban" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/209 no: 1227, dengan sanad yang hasan)
Abu Wa'il rahimahullahu juga berkata:
اثنان لا يذكر الله العبد فيهما إذا أتى الرجل أهله يبدأ فيسمي الله وإذا كان في الخلاء
"Dua keadaan dimana seorang hamba tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya, (pertama) ketika seorang laki-laki mendatangi istrinya, maka hendaklah dia mulai dengan menyebut nama Allah, (kedua) apabila dia berada di jamban" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/209 no: 1229 ,dengan sanad yang shahih)
Abu Ishaq As-Sabii'iy rahimahullah juga berkata:
ما أحب أن أذكر الله إلا في مكان طيب
"Aku tidak senang berdzikir kepada Allah kecuali di tempat yang baik" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/210 no:1236, dengan sanad yang shahih)
Namun kemakruhan ini bisa gugur apabila ada hajat atau keperluan, seperti mengucap tahmid ketika bersin, mengucap tasmiyyah sebelum wudhu. Berikut ini adalah sebagian ucapan salaf yang menunjukkan bolehnya berdzikir di jamban apabila diperlukan.
Berkata Manshur bin Mu'tamir rahimahullah:
وسألته عن الرجل يعطس على الخلاء قال يحمد الله فإنها تصعد
"Dan aku bertanya kepada Ibrahim (An-Nakha'iy) tentang seseorang yang bersin ketika buang air? Beliau menjawab: Hendaknya dia memuji Allah (yaitu mengucapkan Alhamdulillah) karena tahmid itu akan naik (Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf 2/455 no:4063, dengan sanad yang shahih, dan juga Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/210 no: 1233)
Dari Sya'by rahimahullahu, beliau ditanya tentang seseorang yang bersin di jamban, maka beliau berkata: يحمد الله
"Hendaklah dia memuji Allah". (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/210 no:1232, dengan sanad yang shahih)
Dari Muhammad bin Siiriin rahimahullahu beliau berkata:لا أعلم بأسا بذكر الله
"Aku tidak memandang adanya masalah dalam dzikrullah (di jamban)" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/210 no:1235, dengan sanad yang shahih)
Dan inilah yang difatwakan oleh sebagian ulama kita, Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
لا بأس أن يتوضأ داخل الحمام إذا دعت الحاجة إلى ذلك ، ويسمي عند أول الوضوء ، يقول : (بسم الله) لأن التسمية واجبة عند بعض أهل العلم ، ومتأكدة عند الأكثر ، فيأتي بها وتزول الكراهة لأن الكراهة تزول عند الحاجة إلى التسمية ، والإنسان مأمور بالتسمية عند أول الوضوء ، فيسمي ويكمل وضوؤه
"Tidak mengapa berwudhu di dalam kamar kecil apabila memang diperlukan, dan mengucap tasmiyyah di awal wudhu seraya mengucapkan" Bismillah" karena tasmiyyah wajib menurut sebagian ulama, dan dikuatkan menurut sebagian besar ulama, maka hendaknya dia mengucapkan tasmiyyah ini, dan hilang kemakruhannya karena kemakruhan bisa hilang ketika dibutuhkan tasmiyyah, dan seseorang diperintah untuk tasmiyyah di awal wudhu, maka hendaknya dia bertasmiyyah dan menyempurnakan wudhunya" (Majmu Fataawa Syeikh Abdul Aziz bin Baz 10/28)
Datang dalam Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah:
يكره أن يذكر الله تعالى نطقاً داخل الحمام الذي تقضى فيه الحاجة تنزيهاً لاسمه واحتراماً له لكن تشرع له التسمية عند بدء الوضوء لأنها واجبة مع الذكر عند جمع من أهل العلم
"Dimakruhkan dzikrullah dengan lisan di dalam jamban yang digunakan untuk buang hajat, sebagai penyucian dan penghormatan terhadap nama Allah, akan tetapi disyari'atkan tasmiyyah (membaca: bismillah) ketika di awal wudhu karena ini wajib ketika ketika ingat menurut sebagian ahli ilmu" (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daimah 5/94)
Melirihkan Dzikir Di Kamar Mandi
Dan yang perlu diketahui bahwasanya diantara adab berdzikir di kamar mandi/wc/jamban adalah memelankan suaranya.
Dari Al-Hasan Al-Bashry rahimahullah beliau berkata tentang seseorang yang bersin di dalam jamban: يحمد الله في نفسه
"Hendaknya dia memuji Allah dengan di dalam dirinya (yaitu pelan)" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/210 no: 1234, dengan sanad yang shahih)
Dan berkata Hushain bin Abdurrahman rahimahullahu:
انتهينا إلى الشعبي وهو مغضب، فقيل له: ما لك يا أبا عمرو ؟ فقال : إن هذا المارق ، يعني داود بن يزيد الأودي، سألني عن الرجل يعطس في الخلاء، قلت : فما تقول يا أبا عمرو ؟ قال : « يحمد الله في نفسه »
"Kami mendatangi Asy-Sya'by sedangkan beliau dalam keadaan marah, maka beliau ditanya: Ada apa wahai Abu 'Amr?
Beliau berkata: Sesungguhnya orang yang maariq ini –maksudnya Dawud bin Yazid Al-Audy-, telah bertanya kepadaku tentang seseorang yang bersin di tempat buang hajat.
Maka aku berkata: Lalu apa yang kamu katakan wahai Abu 'Amr?
Beliau menjawab: Hendaklah dia memuji Allah di dalam dirinya ( yaitu dengan pelan)" (Dikeluarkan oleh Al-'Uqaily dalam Adh-Dhu'afa 2/391, dengan sanad yang shahih)
Perkataan mereka يحمد الله في نفسه (Memuji Allah di dalam dirinya) ada 2 kemungkinan, memuji Allah di dalam hati atau memuji Allah dengan lisan secara pelan, sebagaimana dijelaskan Syeikhul Islam dalam Al-Fataawaa Al-Kubraa 5/301.
Dan yang zhahir dari atsar sebagian salaf di atas –wallahu a'lam- adalah berdzikir dengan lisan bukan hanya dengan hatinya.
Akhir kata, tentunya lebih baik apabila seseorang di dalam rumahnya memiliki tempat wudhu khusus yang berada di luar kamar mandi/jamban/wc.
Wallahu a'lam.
Abdullah Roy
(www.serambimadinah.com) Read More......
Jawab:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillaah khairil anbiyaa'I wal mursaliin wa 'alaa 'aalihii wa shahbihii ajma'iin. Amma ba'du:
Boleh berwudhu di dalam kamar mandi, apabila aman dari percikan najis.
Berkata Komite Tetap Untuk Riset llmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:
إذا وضع حائل بين الماء الذي ينزل من الصنبور وبين محل النجاسة بحيث إن الماء إذا نزل على الأرض تكون هذه الأرض طاهرة فلا مانع من الوضوء والاستنجاء
"Apabila ada batas antara kran air dan antara tempat najisnya sehingga air turun ke tempat yang suci maka tidak mengapa berwudhu dan istinja' (di dalam kamar mandi tersebut)" (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 5/86)
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu:
يجوز الوضوء في الحمام ولا حرج فيه ولكن ينبغي للإنسان أن يتحفظ من إصابة النجاسة له فإذا تحفظ من ذلك فليتوضأ في أي مكان كان
"Boleh berwudhu di kamar mandi dan tidak masalah, akan tetapi hendaknya menjaga diri dari ditimpa najis, apabila bisa terjaga dirinya dari najis maka silakan dia berwudhu dimana saja" (http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_1637.shtml)
Beliau rahimahullahu juga berkata:
يجوز للإنسان أن يتوضأ في المكان الذي تخلى فيه من بوله أو غائطه لكن بشرط أن يأمن من التلوث بالنجاسة بأن يكون المكان الذي يتوضأ فيه جانباً من الحمام بعيداً عن مكان التخلي أو ينظف المكان الذي ينزل فيه الماء من الأعضاء في الوضوء حتى يكون طاهراً نظيفاً
"Boleh bagi seseorang berwudhu di tempat dia buang air kecil dan buang air besar, dengan syarat aman dari percikan najis, yaitu tempat wudhunya jauh dari tempat buang air, atau dibersihkan dahulu tempat turunnya air dari anggota badan sehingga menjadi bersih dan suci" (http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_1096.shtml)
Hukum membaca dzikir di kamar mandi
Membaca dzikir di kamar mandi makruh, karena berbicara di dalam kamar mandi hukumnya makruh dan membaca dzikir termasuk berbicara. Demikian pula kita diperintahkan untuk mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah dan diantara bentuk pengagungan adalah berdzikir di tempat yang suci bukan di tempat yang kotor dan membuang hajat.
Allah ta'aalaa berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (32) [الحج/32]
"Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu termasuk ketaqwaan hati. (QS. 22:32)"
Berkata Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma:
يكره أن يذكر الله وهو جالس على الخلاء
"Dibenci seseorang dzikrullah sedangkan dia dalam keadaan duduk di dalam jamban" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/209 no: 1227, dengan sanad yang hasan)
Abu Wa'il rahimahullahu juga berkata:
اثنان لا يذكر الله العبد فيهما إذا أتى الرجل أهله يبدأ فيسمي الله وإذا كان في الخلاء
"Dua keadaan dimana seorang hamba tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya, (pertama) ketika seorang laki-laki mendatangi istrinya, maka hendaklah dia mulai dengan menyebut nama Allah, (kedua) apabila dia berada di jamban" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/209 no: 1229 ,dengan sanad yang shahih)
Abu Ishaq As-Sabii'iy rahimahullah juga berkata:
ما أحب أن أذكر الله إلا في مكان طيب
"Aku tidak senang berdzikir kepada Allah kecuali di tempat yang baik" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/210 no:1236, dengan sanad yang shahih)
Namun kemakruhan ini bisa gugur apabila ada hajat atau keperluan, seperti mengucap tahmid ketika bersin, mengucap tasmiyyah sebelum wudhu. Berikut ini adalah sebagian ucapan salaf yang menunjukkan bolehnya berdzikir di jamban apabila diperlukan.
Berkata Manshur bin Mu'tamir rahimahullah:
وسألته عن الرجل يعطس على الخلاء قال يحمد الله فإنها تصعد
"Dan aku bertanya kepada Ibrahim (An-Nakha'iy) tentang seseorang yang bersin ketika buang air? Beliau menjawab: Hendaknya dia memuji Allah (yaitu mengucapkan Alhamdulillah) karena tahmid itu akan naik (Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf 2/455 no:4063, dengan sanad yang shahih, dan juga Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/210 no: 1233)
Dari Sya'by rahimahullahu, beliau ditanya tentang seseorang yang bersin di jamban, maka beliau berkata: يحمد الله
"Hendaklah dia memuji Allah". (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/210 no:1232, dengan sanad yang shahih)
Dari Muhammad bin Siiriin rahimahullahu beliau berkata:لا أعلم بأسا بذكر الله
"Aku tidak memandang adanya masalah dalam dzikrullah (di jamban)" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/210 no:1235, dengan sanad yang shahih)
Dan inilah yang difatwakan oleh sebagian ulama kita, Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
لا بأس أن يتوضأ داخل الحمام إذا دعت الحاجة إلى ذلك ، ويسمي عند أول الوضوء ، يقول : (بسم الله) لأن التسمية واجبة عند بعض أهل العلم ، ومتأكدة عند الأكثر ، فيأتي بها وتزول الكراهة لأن الكراهة تزول عند الحاجة إلى التسمية ، والإنسان مأمور بالتسمية عند أول الوضوء ، فيسمي ويكمل وضوؤه
"Tidak mengapa berwudhu di dalam kamar kecil apabila memang diperlukan, dan mengucap tasmiyyah di awal wudhu seraya mengucapkan" Bismillah" karena tasmiyyah wajib menurut sebagian ulama, dan dikuatkan menurut sebagian besar ulama, maka hendaknya dia mengucapkan tasmiyyah ini, dan hilang kemakruhannya karena kemakruhan bisa hilang ketika dibutuhkan tasmiyyah, dan seseorang diperintah untuk tasmiyyah di awal wudhu, maka hendaknya dia bertasmiyyah dan menyempurnakan wudhunya" (Majmu Fataawa Syeikh Abdul Aziz bin Baz 10/28)
Datang dalam Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah:
يكره أن يذكر الله تعالى نطقاً داخل الحمام الذي تقضى فيه الحاجة تنزيهاً لاسمه واحتراماً له لكن تشرع له التسمية عند بدء الوضوء لأنها واجبة مع الذكر عند جمع من أهل العلم
"Dimakruhkan dzikrullah dengan lisan di dalam jamban yang digunakan untuk buang hajat, sebagai penyucian dan penghormatan terhadap nama Allah, akan tetapi disyari'atkan tasmiyyah (membaca: bismillah) ketika di awal wudhu karena ini wajib ketika ketika ingat menurut sebagian ahli ilmu" (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daimah 5/94)
Melirihkan Dzikir Di Kamar Mandi
Dan yang perlu diketahui bahwasanya diantara adab berdzikir di kamar mandi/wc/jamban adalah memelankan suaranya.
Dari Al-Hasan Al-Bashry rahimahullah beliau berkata tentang seseorang yang bersin di dalam jamban: يحمد الله في نفسه
"Hendaknya dia memuji Allah dengan di dalam dirinya (yaitu pelan)" (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/210 no: 1234, dengan sanad yang shahih)
Dan berkata Hushain bin Abdurrahman rahimahullahu:
انتهينا إلى الشعبي وهو مغضب، فقيل له: ما لك يا أبا عمرو ؟ فقال : إن هذا المارق ، يعني داود بن يزيد الأودي، سألني عن الرجل يعطس في الخلاء، قلت : فما تقول يا أبا عمرو ؟ قال : « يحمد الله في نفسه »
"Kami mendatangi Asy-Sya'by sedangkan beliau dalam keadaan marah, maka beliau ditanya: Ada apa wahai Abu 'Amr?
Beliau berkata: Sesungguhnya orang yang maariq ini –maksudnya Dawud bin Yazid Al-Audy-, telah bertanya kepadaku tentang seseorang yang bersin di tempat buang hajat.
Maka aku berkata: Lalu apa yang kamu katakan wahai Abu 'Amr?
Beliau menjawab: Hendaklah dia memuji Allah di dalam dirinya ( yaitu dengan pelan)" (Dikeluarkan oleh Al-'Uqaily dalam Adh-Dhu'afa 2/391, dengan sanad yang shahih)
Perkataan mereka يحمد الله في نفسه (Memuji Allah di dalam dirinya) ada 2 kemungkinan, memuji Allah di dalam hati atau memuji Allah dengan lisan secara pelan, sebagaimana dijelaskan Syeikhul Islam dalam Al-Fataawaa Al-Kubraa 5/301.
Dan yang zhahir dari atsar sebagian salaf di atas –wallahu a'lam- adalah berdzikir dengan lisan bukan hanya dengan hatinya.
Akhir kata, tentunya lebih baik apabila seseorang di dalam rumahnya memiliki tempat wudhu khusus yang berada di luar kamar mandi/jamban/wc.
Wallahu a'lam.
Abdullah Roy
(www.serambimadinah.com) Read More......
Sabtu, 06 Februari 2010
Menggendong Anak Yang Memakai Diapers Ketika Shalat
Tanya: Assalamu'alaikum. Ustadz,apa hukum menggendong bayi yang memakai diapers saat shalat? Mohon penjelasan beserta dalilnya, jazakumullahu khairan. (Ummu Fathimah)
Jawab:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillaah khairil anbiyaa'I wal mursaliin wa 'alaa 'aalihii wa shahbihii ajma'iin. Amma ba'du:
Apabila diapers tersebut suci maka tidak ada masalah menggendong bayi tersebut ketika shalat. Namun apabila di dalamnya ada najis, maka para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah orang shalat membawa najis yang tertutup tidak di tempat asalnya (perut), misalnya orang shalat membawa botol yang berisi najis. Sebagian ulama berpendapat shalatnya sah karena najisnya tidak keluar, adapun yang lain mengatakan tidak sah karena dia membawa najis yang tidak dimaafkan di luar tempat asalnya (yaitu perut).(Lihat Al-Bahr Ar-Raa'iq 1/240, Al-Majmu' 3/157, Al-Mughny 2/467-468)
Yang serupa dengan permasalahan ini adalah orang shalat menggendong anak yang memakai diapers yang berisi najis. Diantara yang mengatakan sah adalah Syeikh Abdul Muhsin Al-'Abbaad hafizhahullah, dengan syarat najis tersebut tidak nampak dan tidak merembes keluar, beliau berkata:
فإذا كان الولد أو الجارية التي يحملها الشخص في الصلاة عليها حفاظة، وفيها شيء من النجاسة، فإن كانت النجاسة ظاهرة، ويمكن أن تؤثر، فلا يجوز له أن يحملها، وأما إذا كان هناك نجاسة ولكنها ليست ظاهرة ولا تصل إليه فليس هناك بأس. والطواف بالأطفال من جنسه، فإذا دعت الحاجة إلى حمل الأطفال فالأصل هو طهارة ثيابهم وأبدانهم، إلا إذا وجدت النجاسة وظهرت، وغالباً أن النجاسات إذا وجدت في الحفائظ من الداخل فإنها تتشربها؛ لأن فيها مانعاً يمنعها من أن تظهر، فما دام أن النجاسة لم تظهر وأمنت ناحية تنجيسها لما حولها فلا بأس
"Apabila anak atau anak wanita yang digendong tersebut memakai diapers yang di dalamnya ada najis yang nampak dan mungkin mempengaruhi maka tidak boleh menggendongnya, adapun apabila najis tersebut tidak nampak dan tidak sampai kepadanya maka tidak mengapa. Dan hukum thawaf dengan menggendong anak sama dengan masalah ini. Bila diperlukan menggendong anak maka pada asalnya pakaian dan badan mereka suci kecuali jika ditemukan najis dan nampak. Dan kebanyakan najis-najis yang terdapat di dalam diapers diserap oleh diapers tersebut, karena di dalamnya ada yang mencegah najis tersebut nampak, oleh karena itu selama najis tersebut tidak nampak dan tidak menajisi apa yang ada di sekitarnya maka tidak mengapa" (Syarh Sunan Abi Dawud, ketika beliau mensyarh hadist Abu Qatadah Al-Anshary radhiyallahu 'anhu yang berisi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggendong Umamah bintu Abu Al-'Ash ketika shalat)
Namun yang lebih kuat –wallahu a'lam- adalah pendapat yang mengatakan tidak sah shalatnya apabila tahu di dalamnya ada najis, karena termasuk syarat sahnya shalat adalah bersihnya orang yang shalat dari najis baik najis di badan, pakaian, maupun tempat shalat. Apabila dia mengetahui di dalamnya ada najis, atau mengetahui tapi lupa melepasnya maka tidak mengapa. Sedangkan apabila dia mengetahui akan tetapi tetap menggendongnya maka shalatnya tidak sah.
Dalilnya adalah hadist Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu:
عن أبي سعيد الخدري قال : بينما رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي بأصحابه إذ خلع نعليه فوضعهما عن يساره فلما رأى ذلك القوم ألقوا نعالهم فلما قضى رسول الله صلى الله عليه و سلم صلاته قال " ما حملكم على إلقائكم نعالكم " ؟ قالوا رأيناك ألقيت نعليك فألقينا نعالنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم " إن جبريل صلى الله عليه و سلم أتاني فأخبرني أن فيهما قذرا " أو قال أذى وقال " إذا جاء أحدكم إلى المسجد فلينظر فإن رأى في نعليه قذرا أو أذى فليمسحه وليصل فيهما "
"Dari Abu Sa'id Al-Khudry berkata: Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang mengimami para sahabat dalam shalat tiba-tiba beliau melepas kedua sandalnya, kemudian langsung meletakkannya di sebelah kiri beliau. Ketika para sahabat melihat yang demikian maka mereka melempar sandal-sandal mereka. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat beliau bertanya: Apa yang membuat kalian melempar sandal-sandal kalian? Mereka menjawab: Kami melihatmu melempar sandal, maka kamipun melempar sandal. Beliau berkata: Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan bahwa di dalam kedua sandalku ada kotoran (najis), apabila salah seorang dari kalian mendatangi masjid maka hendaklah melihat sandalnya, apabila melihat kotoran (najis) maka hendaklah mengusapnya dan shalat dengan kedua sandal tersebut" (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Dalam hadist ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melepas sandal yang yang ada najisnya setelah diberitahu oleh Jibril, ini menunjukkan tidak sahnya shalat setelah mengetahui ada najis di sandalnya, dan beliau tidak mengulangi shalatnya, ini menunjukkan sahnya shalat orang yang membawa najis tetapi tidak mengetahuinya. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. (Lihat Al-Majmu' 3/163)
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu:
فإن صلى وبدنه نجس أي قد أصابته نجاسة لم يغسلها أو ثوبه نجس ، أو بقعته نجسة فصلاته غير صحيحة عند جمهور العلماء ، لكن لو لم يعلم بهذه النجاسة ، أو علم بها ثم نسي أن يغسلها حتى تمت صلاته ، فإن صلاته صحيحة ولا يلزمه أن يعيد
"Apabila shalat dengan badan yang najis yaitu sudah terkena najis dan tidak mencucinya atau bajunya najis atau tempat dia shalat najis maka shalatnya tidak sah menurut jumhur ulama, akan tetapi apabila tidak mengetahui keberadaan najis ini atau mengetahuinya tapi lupa mencucinya sampai selesai shalat maka shalatnya shahih dan dia tidak wajib mengulangi shalatnya" (Majmu' Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Al'Utsaimin 12/471 )
Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Syeikh Sulaiman Ar-Ruhaily sebagaimana ketika saya ajukan pertanyaan penanya di atas kepada beliau malam Kamis, 19 Shafar 1431, di Kuliah Dakwah wa Ushuuluddin , Al-Jami'ah Al-Islamiyyah.
Wallahu a'lam. Read More......
Jawab:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillaah khairil anbiyaa'I wal mursaliin wa 'alaa 'aalihii wa shahbihii ajma'iin. Amma ba'du:
Apabila diapers tersebut suci maka tidak ada masalah menggendong bayi tersebut ketika shalat. Namun apabila di dalamnya ada najis, maka para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah orang shalat membawa najis yang tertutup tidak di tempat asalnya (perut), misalnya orang shalat membawa botol yang berisi najis. Sebagian ulama berpendapat shalatnya sah karena najisnya tidak keluar, adapun yang lain mengatakan tidak sah karena dia membawa najis yang tidak dimaafkan di luar tempat asalnya (yaitu perut).(Lihat Al-Bahr Ar-Raa'iq 1/240, Al-Majmu' 3/157, Al-Mughny 2/467-468)
Yang serupa dengan permasalahan ini adalah orang shalat menggendong anak yang memakai diapers yang berisi najis. Diantara yang mengatakan sah adalah Syeikh Abdul Muhsin Al-'Abbaad hafizhahullah, dengan syarat najis tersebut tidak nampak dan tidak merembes keluar, beliau berkata:
فإذا كان الولد أو الجارية التي يحملها الشخص في الصلاة عليها حفاظة، وفيها شيء من النجاسة، فإن كانت النجاسة ظاهرة، ويمكن أن تؤثر، فلا يجوز له أن يحملها، وأما إذا كان هناك نجاسة ولكنها ليست ظاهرة ولا تصل إليه فليس هناك بأس. والطواف بالأطفال من جنسه، فإذا دعت الحاجة إلى حمل الأطفال فالأصل هو طهارة ثيابهم وأبدانهم، إلا إذا وجدت النجاسة وظهرت، وغالباً أن النجاسات إذا وجدت في الحفائظ من الداخل فإنها تتشربها؛ لأن فيها مانعاً يمنعها من أن تظهر، فما دام أن النجاسة لم تظهر وأمنت ناحية تنجيسها لما حولها فلا بأس
"Apabila anak atau anak wanita yang digendong tersebut memakai diapers yang di dalamnya ada najis yang nampak dan mungkin mempengaruhi maka tidak boleh menggendongnya, adapun apabila najis tersebut tidak nampak dan tidak sampai kepadanya maka tidak mengapa. Dan hukum thawaf dengan menggendong anak sama dengan masalah ini. Bila diperlukan menggendong anak maka pada asalnya pakaian dan badan mereka suci kecuali jika ditemukan najis dan nampak. Dan kebanyakan najis-najis yang terdapat di dalam diapers diserap oleh diapers tersebut, karena di dalamnya ada yang mencegah najis tersebut nampak, oleh karena itu selama najis tersebut tidak nampak dan tidak menajisi apa yang ada di sekitarnya maka tidak mengapa" (Syarh Sunan Abi Dawud, ketika beliau mensyarh hadist Abu Qatadah Al-Anshary radhiyallahu 'anhu yang berisi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggendong Umamah bintu Abu Al-'Ash ketika shalat)
Namun yang lebih kuat –wallahu a'lam- adalah pendapat yang mengatakan tidak sah shalatnya apabila tahu di dalamnya ada najis, karena termasuk syarat sahnya shalat adalah bersihnya orang yang shalat dari najis baik najis di badan, pakaian, maupun tempat shalat. Apabila dia mengetahui di dalamnya ada najis, atau mengetahui tapi lupa melepasnya maka tidak mengapa. Sedangkan apabila dia mengetahui akan tetapi tetap menggendongnya maka shalatnya tidak sah.
Dalilnya adalah hadist Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu:
عن أبي سعيد الخدري قال : بينما رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي بأصحابه إذ خلع نعليه فوضعهما عن يساره فلما رأى ذلك القوم ألقوا نعالهم فلما قضى رسول الله صلى الله عليه و سلم صلاته قال " ما حملكم على إلقائكم نعالكم " ؟ قالوا رأيناك ألقيت نعليك فألقينا نعالنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم " إن جبريل صلى الله عليه و سلم أتاني فأخبرني أن فيهما قذرا " أو قال أذى وقال " إذا جاء أحدكم إلى المسجد فلينظر فإن رأى في نعليه قذرا أو أذى فليمسحه وليصل فيهما "
"Dari Abu Sa'id Al-Khudry berkata: Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang mengimami para sahabat dalam shalat tiba-tiba beliau melepas kedua sandalnya, kemudian langsung meletakkannya di sebelah kiri beliau. Ketika para sahabat melihat yang demikian maka mereka melempar sandal-sandal mereka. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat beliau bertanya: Apa yang membuat kalian melempar sandal-sandal kalian? Mereka menjawab: Kami melihatmu melempar sandal, maka kamipun melempar sandal. Beliau berkata: Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan bahwa di dalam kedua sandalku ada kotoran (najis), apabila salah seorang dari kalian mendatangi masjid maka hendaklah melihat sandalnya, apabila melihat kotoran (najis) maka hendaklah mengusapnya dan shalat dengan kedua sandal tersebut" (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Dalam hadist ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melepas sandal yang yang ada najisnya setelah diberitahu oleh Jibril, ini menunjukkan tidak sahnya shalat setelah mengetahui ada najis di sandalnya, dan beliau tidak mengulangi shalatnya, ini menunjukkan sahnya shalat orang yang membawa najis tetapi tidak mengetahuinya. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. (Lihat Al-Majmu' 3/163)
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu:
فإن صلى وبدنه نجس أي قد أصابته نجاسة لم يغسلها أو ثوبه نجس ، أو بقعته نجسة فصلاته غير صحيحة عند جمهور العلماء ، لكن لو لم يعلم بهذه النجاسة ، أو علم بها ثم نسي أن يغسلها حتى تمت صلاته ، فإن صلاته صحيحة ولا يلزمه أن يعيد
"Apabila shalat dengan badan yang najis yaitu sudah terkena najis dan tidak mencucinya atau bajunya najis atau tempat dia shalat najis maka shalatnya tidak sah menurut jumhur ulama, akan tetapi apabila tidak mengetahui keberadaan najis ini atau mengetahuinya tapi lupa mencucinya sampai selesai shalat maka shalatnya shahih dan dia tidak wajib mengulangi shalatnya" (Majmu' Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Al'Utsaimin 12/471 )
Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Syeikh Sulaiman Ar-Ruhaily sebagaimana ketika saya ajukan pertanyaan penanya di atas kepada beliau malam Kamis, 19 Shafar 1431, di Kuliah Dakwah wa Ushuuluddin , Al-Jami'ah Al-Islamiyyah.
Wallahu a'lam. Read More......
Minggu, 31 Januari 2010
Cara Shalat Dalam Kereta Ekonomi
Tanya: Assalamualaikum, ustadz bagaimana tata cara shalat di dalam kereta ekonomi baik dalam tata cara menghadap kiblat dan berdirinya, apakah kita wajib berdiri atau tidak? (Arif R.H)
Jawab:
Wa'alaikumsalamwarahmatullah wabarakatuhu.
Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillaah khairil anbiyaa'I wal mursaliin wa 'alaa 'aalihii wa shahbihii ajma'iin. Amma ba'du:
Menghadap qiblat termasuk syarat sahnya shalat, sebagaimana firman Allah ta'aalaa:
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ [البقرة/144]
"Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya" (QS.Al-Baqarah:144)
Dan berdiri bila mampu dalam shalat fardhu termasuk rukun shalat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب
"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka dengan duduk, apabila tidak mampu maka dengan berbaring" (HR.Al-Bukhary, dari 'Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhu)
Oleh karena itu, shalat fardhu di kereta apabila masih memungkinkan kita berdiri dan menghadap qiblat maka kita harus berdiri dan menghadap qiblat sebagaimana yang dilakukan para salaf ketika naik kapal, mereka shalat di kapal dengan berdiri menghadap qiblat, dan ketika kapal berubah arah mereka tetap berusaha menghadap qiblat.
Berkata Ibrahim An-Nakha'iy rahimahullah:
يستقبل القبلة كلما تحرفت
"(Orang yang shalat di atas kapal) tetap menghadap qiblat setiap kapal tersebut berpindah arah) (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6634)
Berkata Hasan Al-Bashry dan Muhammad bin Siiriin rahimahumallah:
يصلون فيها قياما جماعة، ويدورون مع القبلة حيث دارت
"Mereka shalat berjama'ah di kapal dengan berdiri, dan mereka tetap menghadap qiblat kemanapun kapal berputar " (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6637)
Namun apabila tidak mampu berdiri atau tidak mampu menghadap qiblat maka kita kerjakan shalat sesuai dengan kemampuan kita. Apabila tidak mampu berdiri maka duduk, apabila tidak mampu ruku dan sujud maka cukup dengan menundukkan badan, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada ruku'nya. Allah ta'aalaa berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16]
"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian" (QS. At-Taghaabun:16)
Allah ta'aalaa juga berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة/286]
"Allah tidak membebani sebuah jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya" (QS. Al-Baqarah:286)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فافعلوا منه ما استطعتم
"Apa yang aku larang maka hendaklah kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian kerjakan sesuai dengan kemampuan kalian" (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Berkata Syeikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu:
تصح الصلاة على الطائرة وهي تطير في الجو، كما تصح الصلاة على الباخرة والسفينة ونحوها. وهذا أَشبه بحال الضرورة. لأَنه لا يستطيع إِيقافها ولا النزول لأَداء الصلاة، ولا يجوز تأْخير الصلاة عن وقتها بحال. وكما تصح الصلاة على السيارة إِذا جد به السير ولم يتمكن الراكب من إِلزام السائق بإِيقاف السيارة وخشي خروج الوقت، فإِنه يصلي قبل خروج الوقت ويفعل ما يستطيع عليه، ثم إِذا صلى الإِنسان في الطائرة ونحوها فإِن استطاع أَن يصلي قائمًا ويركع ويسجد لزمه ذلك في الفريضة، وإِلا صلى على حسب حاله وأَتى بما يقدر عليه من ذلك، كما يلزمه استقبال القبلة حسب استطاعته. وكلما دارت انحرف إِلى القبلة إِذا كانت الصلاة فرضًا
"Sah shalat di dalam pesawat yang sedang terbang, sebagaimana sah shalat di dalam kapal dan yang semisalnya, dan ini lebih serupa dengan keadaan dharurat, karena dia tidak mampu menghentikan kendaraan tersebut, dan juga tidak bisa turun untuk mengerjakan shalat, sementara tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya dalam keadaan apapun. Sebagaimana shalat juga sah di atas mobil apabila sedang berjalan dan penumpang tidak bisa mengharuskan sopir menghentikan kendaraan, dan dia takut habis waktu, maka hendaklah dia shalat sebelum habis waktunya dan melakukan apa yang dia mampu. Kemudian apabila seseorang shalat di pesawat dan yang semisalnya maka jika dia mampu shalat dengan berdiri, ruku', dan sujud maka dia wajib melakukannya pada shalat fardhu, kalau tidak bisa maka shalat sesuai dengan kondisi dia, dan mengerjakan apa yang dia mampu, sebagaimana wajib bagi dia menghadap qiblat sesuai dengan kemampuan, setiap kali kendaraan itu berputar maka dia tetap menghadap ke qiblat bila itu adalah shalat fardhu" (Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Muhammad bin Ibrahim no:516)
Berkata Komite Tetap Untuk Riset llmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:
وأما كونه يصلي أين توجهت المذكورات أم لا بد من التوجه إلى القبلة دومًا واستمرارًا أو ابتداءً فقط - فهذا يرجع إلى تمكنه، فإذا كان يمكنه استقبال القبلة في جميع الصلاة وجب فعل ذلك؛ لأنه شرط في صحة صلاة الفريضة في السفر والحضر، وإذا كان لا يمكنه في جميعها، فليتق الله ما استطاع، لما سبق من الأدلة، هذا كله في الفرض
"Adapun, apakah dia shalat mengikuti arah kendaraan-kendaraan tersebut (mobil, kereta, pesawat, atau kendaraan roda empat) harus menghadap qiblat secara terus-menerus atau hanya di awal shalat, maka ini dikembalikan kepada kemampuan dia, jika dia mungkin menghadap qiblat terus-menerus dalam shalat seluruhnya maka dia wajib melakukannya, karena ini syarat sahnya shalat fardhu baik ketika safar atau muqim, dan apabila tidak mungkin menghadap qiblat terus-menerus maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan, karena dalil-dalil yang telah berlalu, dan ini semua dalam shalat fardhu" (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 8/124)
Dan nasehat para ulama, selama masih memungkinkan kita kerjakan shalat fardhu di luar kendaraan, baik sebelum naik maupun setelah turun, baik pada waktunya atau dijamak dengan shalat lain maka hendaknya tidak shalat fardhu dalam kendaraan.
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu:
إذا كان لا يتمكن من أداء الصلاة في الطائرة كما يؤديها على الأرض فلا يصلي الفريضة في الطائرة إذا كان يمكن هبوط الطائرة قبل خروج وقت الصلاة ، أو خروج وقت التي بعدها مما يجمع إليها
"Apabila tidak bisa mengerjakan shalat di pesawat sebagaimana di bumi, maka jangan dia shalat di pesawat jika pesawat mendarat sebelum keluarnya waktu shalat atau keluarnya waktu shalat yang setelahnya yang bisa dijama' shalat bersamanya" (Fatawa Arkanil Islam hal:380)
Berkata Syeikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah:
إذا كانت الرحلة بالقطار أو الطائرة تبدأ بعد دخول وقت الظهر أو المغرب؛ فإن المسافر يجمع بين الصلاتين جمع تقديم قبل الركوب، وإن كانت الرحلة تبدأ قبل دخول وقت الصلاة الأولى من الصلوات المذكورة؛ فإن المسافر ينوي جمع التأخير ويصلي الصلاتين إذا نزل، ولو كان نزوله في آخر وقت الثانية، وإن كانت الرحلة تستمر إلى ما بعد خروج وقت الثانية؛ فإن المسافر يصلي في القطار أو الطائرة، في المكان المناسب، على حسب حاله، وكذا صلاة الفجر إذا كانت الرحلة تستمر إلى ما بعد طلوع الشمس؛ فإن المسافر يصليها في القطار أو الطائرة على حسب حاله قال تعالى : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } [ سورة التغابن : آية 16 [ .ويجب على المصلي أن يتجه إلى جهة القبلة أينما كان اتجاه الرحلة؛ لقوله تعالى : { فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ } [ سورة البقرة : آية 144[ .
"Apabila keberangkatan kereta atau pesawat setelah masuk waktu Zhuhur atau Maghrib maka seorang musafir hendaklah menjama' antara 2 shalat dengan jama' taqdim sebelum naik, dan apabila keberangkatan sebelum waktu shalat yang pertama dari shalat-shalat yang disebutkan tadi (Zhuhur dan Maghrib) maka dia meniatkan jama' ta'khir, dan melaksanakan 2 shalat tersebut ketika turun, meskipun turunnya ketika di akhir waktu shalat yang kedua. Dan apabila perjalanan berlanjut sampai keluarnya waktu shalat yang kedua maka dia shalat di kereta atau pesawat, di tempat yang sesuai, sesuai dengan keadaan dia. Demikian pula shalat shubuh bila perjalanan berlanjut sampai terbit matahari, ,maka hendaklah dia shalat di kereta dan pesawat sesuai dengan keadaannya, Allah ta'aalaa berfirman (yang artinya): "Bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian", dan wajib atasnya menghadap qiblat kemanapun arah kendaraan berubah, karena firman Allah (yang artinya): "Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya" (QS.Al-Baqarah:144)(Al-Muntaqaa min Fataawaa Syeikh Shalih bin Fauzaan 2/140-141 no:159)
Wallahu ta'aalaa a'lam. Read More......
Jawab:
Wa'alaikumsalamwarahmatullah wabarakatuhu.
Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillaah khairil anbiyaa'I wal mursaliin wa 'alaa 'aalihii wa shahbihii ajma'iin. Amma ba'du:
Menghadap qiblat termasuk syarat sahnya shalat, sebagaimana firman Allah ta'aalaa:
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ [البقرة/144]
"Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya" (QS.Al-Baqarah:144)
Dan berdiri bila mampu dalam shalat fardhu termasuk rukun shalat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب
"Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka dengan duduk, apabila tidak mampu maka dengan berbaring" (HR.Al-Bukhary, dari 'Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhu)
Oleh karena itu, shalat fardhu di kereta apabila masih memungkinkan kita berdiri dan menghadap qiblat maka kita harus berdiri dan menghadap qiblat sebagaimana yang dilakukan para salaf ketika naik kapal, mereka shalat di kapal dengan berdiri menghadap qiblat, dan ketika kapal berubah arah mereka tetap berusaha menghadap qiblat.
Berkata Ibrahim An-Nakha'iy rahimahullah:
يستقبل القبلة كلما تحرفت
"(Orang yang shalat di atas kapal) tetap menghadap qiblat setiap kapal tersebut berpindah arah) (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6634)
Berkata Hasan Al-Bashry dan Muhammad bin Siiriin rahimahumallah:
يصلون فيها قياما جماعة، ويدورون مع القبلة حيث دارت
"Mereka shalat berjama'ah di kapal dengan berdiri, dan mereka tetap menghadap qiblat kemanapun kapal berputar " (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6637)
Namun apabila tidak mampu berdiri atau tidak mampu menghadap qiblat maka kita kerjakan shalat sesuai dengan kemampuan kita. Apabila tidak mampu berdiri maka duduk, apabila tidak mampu ruku dan sujud maka cukup dengan menundukkan badan, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada ruku'nya. Allah ta'aalaa berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16]
"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian" (QS. At-Taghaabun:16)
Allah ta'aalaa juga berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة/286]
"Allah tidak membebani sebuah jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya" (QS. Al-Baqarah:286)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فافعلوا منه ما استطعتم
"Apa yang aku larang maka hendaklah kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian kerjakan sesuai dengan kemampuan kalian" (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Berkata Syeikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu:
تصح الصلاة على الطائرة وهي تطير في الجو، كما تصح الصلاة على الباخرة والسفينة ونحوها. وهذا أَشبه بحال الضرورة. لأَنه لا يستطيع إِيقافها ولا النزول لأَداء الصلاة، ولا يجوز تأْخير الصلاة عن وقتها بحال. وكما تصح الصلاة على السيارة إِذا جد به السير ولم يتمكن الراكب من إِلزام السائق بإِيقاف السيارة وخشي خروج الوقت، فإِنه يصلي قبل خروج الوقت ويفعل ما يستطيع عليه، ثم إِذا صلى الإِنسان في الطائرة ونحوها فإِن استطاع أَن يصلي قائمًا ويركع ويسجد لزمه ذلك في الفريضة، وإِلا صلى على حسب حاله وأَتى بما يقدر عليه من ذلك، كما يلزمه استقبال القبلة حسب استطاعته. وكلما دارت انحرف إِلى القبلة إِذا كانت الصلاة فرضًا
"Sah shalat di dalam pesawat yang sedang terbang, sebagaimana sah shalat di dalam kapal dan yang semisalnya, dan ini lebih serupa dengan keadaan dharurat, karena dia tidak mampu menghentikan kendaraan tersebut, dan juga tidak bisa turun untuk mengerjakan shalat, sementara tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya dalam keadaan apapun. Sebagaimana shalat juga sah di atas mobil apabila sedang berjalan dan penumpang tidak bisa mengharuskan sopir menghentikan kendaraan, dan dia takut habis waktu, maka hendaklah dia shalat sebelum habis waktunya dan melakukan apa yang dia mampu. Kemudian apabila seseorang shalat di pesawat dan yang semisalnya maka jika dia mampu shalat dengan berdiri, ruku', dan sujud maka dia wajib melakukannya pada shalat fardhu, kalau tidak bisa maka shalat sesuai dengan kondisi dia, dan mengerjakan apa yang dia mampu, sebagaimana wajib bagi dia menghadap qiblat sesuai dengan kemampuan, setiap kali kendaraan itu berputar maka dia tetap menghadap ke qiblat bila itu adalah shalat fardhu" (Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Muhammad bin Ibrahim no:516)
Berkata Komite Tetap Untuk Riset llmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:
وأما كونه يصلي أين توجهت المذكورات أم لا بد من التوجه إلى القبلة دومًا واستمرارًا أو ابتداءً فقط - فهذا يرجع إلى تمكنه، فإذا كان يمكنه استقبال القبلة في جميع الصلاة وجب فعل ذلك؛ لأنه شرط في صحة صلاة الفريضة في السفر والحضر، وإذا كان لا يمكنه في جميعها، فليتق الله ما استطاع، لما سبق من الأدلة، هذا كله في الفرض
"Adapun, apakah dia shalat mengikuti arah kendaraan-kendaraan tersebut (mobil, kereta, pesawat, atau kendaraan roda empat) harus menghadap qiblat secara terus-menerus atau hanya di awal shalat, maka ini dikembalikan kepada kemampuan dia, jika dia mungkin menghadap qiblat terus-menerus dalam shalat seluruhnya maka dia wajib melakukannya, karena ini syarat sahnya shalat fardhu baik ketika safar atau muqim, dan apabila tidak mungkin menghadap qiblat terus-menerus maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan, karena dalil-dalil yang telah berlalu, dan ini semua dalam shalat fardhu" (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 8/124)
Dan nasehat para ulama, selama masih memungkinkan kita kerjakan shalat fardhu di luar kendaraan, baik sebelum naik maupun setelah turun, baik pada waktunya atau dijamak dengan shalat lain maka hendaknya tidak shalat fardhu dalam kendaraan.
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu:
إذا كان لا يتمكن من أداء الصلاة في الطائرة كما يؤديها على الأرض فلا يصلي الفريضة في الطائرة إذا كان يمكن هبوط الطائرة قبل خروج وقت الصلاة ، أو خروج وقت التي بعدها مما يجمع إليها
"Apabila tidak bisa mengerjakan shalat di pesawat sebagaimana di bumi, maka jangan dia shalat di pesawat jika pesawat mendarat sebelum keluarnya waktu shalat atau keluarnya waktu shalat yang setelahnya yang bisa dijama' shalat bersamanya" (Fatawa Arkanil Islam hal:380)
Berkata Syeikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah:
إذا كانت الرحلة بالقطار أو الطائرة تبدأ بعد دخول وقت الظهر أو المغرب؛ فإن المسافر يجمع بين الصلاتين جمع تقديم قبل الركوب، وإن كانت الرحلة تبدأ قبل دخول وقت الصلاة الأولى من الصلوات المذكورة؛ فإن المسافر ينوي جمع التأخير ويصلي الصلاتين إذا نزل، ولو كان نزوله في آخر وقت الثانية، وإن كانت الرحلة تستمر إلى ما بعد خروج وقت الثانية؛ فإن المسافر يصلي في القطار أو الطائرة، في المكان المناسب، على حسب حاله، وكذا صلاة الفجر إذا كانت الرحلة تستمر إلى ما بعد طلوع الشمس؛ فإن المسافر يصليها في القطار أو الطائرة على حسب حاله قال تعالى : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } [ سورة التغابن : آية 16 [ .ويجب على المصلي أن يتجه إلى جهة القبلة أينما كان اتجاه الرحلة؛ لقوله تعالى : { فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ } [ سورة البقرة : آية 144[ .
"Apabila keberangkatan kereta atau pesawat setelah masuk waktu Zhuhur atau Maghrib maka seorang musafir hendaklah menjama' antara 2 shalat dengan jama' taqdim sebelum naik, dan apabila keberangkatan sebelum waktu shalat yang pertama dari shalat-shalat yang disebutkan tadi (Zhuhur dan Maghrib) maka dia meniatkan jama' ta'khir, dan melaksanakan 2 shalat tersebut ketika turun, meskipun turunnya ketika di akhir waktu shalat yang kedua. Dan apabila perjalanan berlanjut sampai keluarnya waktu shalat yang kedua maka dia shalat di kereta atau pesawat, di tempat yang sesuai, sesuai dengan keadaan dia. Demikian pula shalat shubuh bila perjalanan berlanjut sampai terbit matahari, ,maka hendaklah dia shalat di kereta dan pesawat sesuai dengan keadaannya, Allah ta'aalaa berfirman (yang artinya): "Bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian", dan wajib atasnya menghadap qiblat kemanapun arah kendaraan berubah, karena firman Allah (yang artinya): "Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya" (QS.Al-Baqarah:144)(Al-Muntaqaa min Fataawaa Syeikh Shalih bin Fauzaan 2/140-141 no:159)
Wallahu ta'aalaa a'lam. Read More......
Kamis, 28 Januari 2010
Kolam Renang Khusus Muslimah
Tanya: Mohon dibahas masalah ‘kolam renang khusus muslimah’ yang banyak muncul baik di Indonesia atau di negeri-negeri Eropa. Bagaimana hukum muslimah berenang di kolam renang khusus muslimah tersebut. Jazakallahu khairan. (Abu 'Aisyah)
Jawab:
Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin, washshalaatu wassalaamu 'ala rasulillaah khairil anbiyaa'I wal mursaliin wa 'alaa 'aalihii wa shahbihii ajma'iin. Amma ba'du:
Pada asalnya boleh bagi seorang muslimah berenang di kolam renang khusus muslimah selama tetap menjaga batasan-batasan syari'at , seperti misalnya seluruh wanita muslimah yang berenang di kolam renang tersebut menutup aurat mereka supaya pandangan tidak terjatuh pada sesuatu yang diharamkan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل ولا المرأة إلى عورة المرأة
"Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain" (HR. Muslim, dari Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu)
Beliau shallallahu 'alaihiwasallam juga bersabda:
احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك
"Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budakmu" (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah, dari Mu'awiyah bin Haidah radhiyallahu 'anhu, dan dihasankan Syeikh Al-Albany)
Hadist ini menunjukkan dilarangnya melihat aurat orang lain selain yang disebutkan di atas, yaitu laki-laki melihat aurat laki-laki, dan wanita melihat aurat wanita. (Lihat Fathul Bary, Ibnu Hajar Al-'Asqalany 1/386)
Berkata Syeikh Abdul Muhsin Al-'Abbaad hafizhahullah:
سباحة نساء مع نساء وهن متسترات بثيابهن ليس فيه بأس
"Tidak mengapa para wanita berenang bersama wanita-wanita lain selama mereka dalam keadaan tertutup dengan pakaian mereka" (Syarh Sunan Abi Dawud, diantara pertanyaan yang diajukan kepada beliau setelah Bab Maa Jaa'a fii At-Ta'arry, Kitab Al-Hammaam, kemudian saya tanyakan kembali pertanyaan ini kepada beliau hari Kamis tanggal 6 Shafar 1431 setelah shalat Shubuh, dan beliau menjawab dengan jawaban yang semakna)
Selain itu kolam renang tersebut harus aman dari pandangan laki-laki, kamera, dan yang semisalnya dll, apabila dikhawatirkan hal-hal yang tidak diinginkan -seperti yang banyak terjadi di zaman sekarang- maka tentunya menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan mashlahat (kebaikan).(Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 26/343 ).
Namun meski diperbolehkan dengan syarat-syarat di atas, tentunya tidak diragukan lagi bahwa tetap tinggalnya seorang wanita muslimah di rumah tentu lebih baik dan lebih aman baginya, dan sering keluarnya seorang wanita ke tempat-tempat seperti itu tentunya hal yang tidak baik dan akan membawa fitnah.
Allah ta'aalaa berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى [الأحزاب/33]
"Dan tetaplah kalian berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias seperti berhiasnya orang-orang jahiliyyah dahulu" (QS. Al-Ahzab:33)
Berkata Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu:
الحقيقة يا إخواني خروج المرأة عما حد لها ورسم لها في الشرع يسبب لها ولغيرها البلاء والفساد ، فالمرأة لو كانت تتعلم السباحة في منزلها فإن أحدا لا يمنعها ، لكن أن تخرج من منزلها إلى أماكن تعليم السباحة وبالصفة المذكورة وبملابس لا تستر عورتها فإن ذلك أمر مخالف للشرع ، والواجب على أولياء البنات أن يتقوا الله فيهن ، وأن يحفظوا تلك الأمانة فالله سائلهم عنها
"Pada hakikatnya -wahai saudara-saudaraku-keluarnya seorang wanita dari apa yang sudah digariskan bagi mereka di dalam agama akan menyebabkan kerusakan bagi dirinya dan orang lain. Seorang wanita apabila dia belajar berenang di rumahnya maka tidak ada yang melarangnya, namun apabila dia keluar rumah ke tempat-tempat latihan berenang dengan sifat di atas dan dengan pakaian yang tidak menutup auratnya maka yang demikian itu menyelisihi syari'at, dan kewajiban para wali adalah bertaqwa kepada Allah di dalam urusan anak-anak wanita mereka, dan menjaga amanat tersebut, Allahlah yang akan menanyai mereka kelak" (Majallah Al-Buhuuts Al-Islaamiyyah 68/54 dan 56)
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu juga berkata:
الحمد لله نصيحتي لإخواني ألا يمكنوا نساءهم من دخول نوادي السباحة والألعاب الرياضية لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم حث المرأة أن تبقى في بيتها فقال وهو يتحدث عن حضور النساء للمساجد وهي أماكن العبادة والعلم الشرعي : لا تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير لهن وذلك تحقيقاً لقوله تعالى : ( وقرن في بيوتكن ) ثم إن المرأة إذا اعتادت ذلك تعلقت به تعلقاً كبيراً لقوة عاطفتها وحينئذ تنشغل به عن مهماتها الدينية والدنيوية ويكون حديث نفسها ولسانها في المجالس . ثم إن المرأة إذا قامت بمثل ذلك كان سبباً في نزع الحياء منها وإذا نزع الحياء من المرأة فلا تسأل عن سوء عاقبتها إلا أن يمن الله عليها باستقامة تعيد إليها حياءها الذي جبلت عليه.
وإني حين أختم جوابي هذا أكرر النصيحة لإخواني المؤمنين أن يمنعوا نساءهم من بنات أو أخوات أو زوجات أو غيرهن ممن لهم الولاية عليهن من دخول هذه النوادي ، وأسأل الله تعالى أن يمن على الجميع بالتوفيق والحماية من مضلات الفتن إنه على كل شيء قدير والحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .
"Alhamdulillah, nasehat saya untuk saudara-saudaraku, janganlah kalian mengizinkan wanita-wanita kalian mengikuti klub-klub renang dan olahraga, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa 'alaa 'aalihi wa sallam telah mendorong wanita supaya tetap berada di rumahnya, beliau telah bersabda tentang wanita yang mendatangi masjid yang merupakan tempat ibadah dan ilmu syar'iy: "Janganlah kalian larang hamba-hamba wanita Allah dari masjid-masjid Allah, dan rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka", dan ini adalah perwujudan dari firman Allah (yang artinya): " Dan tetaplah kalian berada di rumah-rumah kalian", kemudian seorang wanita apabila sudah terbiasa melakukan yang demikian maka hatinya akan senantiasa tergantung dengannya karena kuatnya perasaan seorang wanita, ketika sudah demikian maka dia akan tersibukkan dari tugas-tugasnya baik tugas-tugas yang berhubungan dengan agama atau dunia, dan jadilah perkara tersebut terbayang-bayang dalam hatinya dan menjadi bahan pembicaraan dalam perkumulan-perkumpulan. Demikian pula seorang wanita apabila melakukan aktifitas seperti itu maka akan menjadi sebab hilangnya rasa malu pada dirinya, jika sudah hilang rasa malu maka jangan tanya akibatnya, kecuali Allah memberi karunia dengan istiqamah yang mengembalikan rasa malu pada dirinya, yang malu ini merupakan fitrah seorang wanita.
Dan diakhir jawaban ini saya ulangi nasehat saya untuk saudara-saudaraku yang beriman, supaya melarang wanita-wanita mereka baik anak-anak, saudara-saudara, istri-istri atau yang lain yang masih berada di bawah kekuasaan mereka untuk tidak mengikuti klub-klub seperti ini. Dan saya memohon kepada Allah, semoga Allah memberi karunia kepada kita semua dengan taufiq dan penjagaan dari segala fitnah yang menyesatkan, sesungguhnya Dia Maha Mampu melakukan segala sesuatu. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, dan shalawat serta salam Allah atas nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya " (Majallah Ad-Da'wah edisi 1765/54).
Batas aurat wanita di hadapan wanita lain
Jumhur ulama mengatakan bahwa aurat wanita dihadapan wanita lain adalah antara pusar dan lutut. (Lihat Badai'ush Shanaa'i'5/124, Al-Fawaakih Ad-Dawaaniy 1/202, Raudhatuththaalibin 5/370, dan Al-Mughny 9/505).
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin:
وذكر فقهاؤنا رحمهم الله أنه يجوز للمرأة أن تنظر من المرأة جميع بدنها إلا ما بين السرة والركبة
"Para fuqaha kita rahimahumullah menyebutkan bahwa boleh bagi seorang wanita melihat seluruh badan wanita lain kecuali bagian antara pusar dan lutut"(Majmu' Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimiin 12/267)
Mereka mengqiyaskan aurat wanita dihadapan wanita dengan aurat laki-laki di hadapan laki-laki, dan yang mengumpulkan antara keduanya adalah persamaan jenis kelamin.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa aurat wanita di depan wanita sama dengan auratnya di depan mahram yaitu semua badannya kecuali tempat perhiasan yang nampak seperti kepala, telinga, leher, dada bagian atas, pergelangan tangan, pergelangan kaki. Mereka berdalil dengan firman Allah ta'aalaa:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ [النور/31]
" Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam…"(QS. An-Nuur: 31)
Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullahu:
فهذا النص القرآني صريح في أن المرأة لا يجوز لها أن تبدي أمام المسلمة أكثر من هذه المواضع
"Maka nash Al-Quran ini jelas menunjukkan bahwa wanita tidak boleh menampakkan selain tempat-tempat perhiasan tersebut di depan wanita muslimah yang lain" (Ar-Radd Al-Mufhim hal:75 )
Namun meskipun jumhur ulama berpendapat bahwa aurat wanita di hadapan wanita adalah antara pusar dan lutut, bukan berarti bahwasanya seorang wanita muslimah hanya menutup antara pusar sampai kedua lutut ketika dihadapan wanita lain, tapi hendaknya seorang muslimah tetap menjaga rasa malu dan kehormatannya dengan berpakaian di hadapan wanita lain seperti ketika dia berada diantara mahramnya.
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu:
عورة المرأة مع المرأة ، كعورة الرجل مع الرجل أي ما بين السرة والركبة ، ولكن هذا لا يعني أن النساء يلبسن أمام النساء ثياباً قصيرة لا تستر إلا ما بين السرة والركبة فإن هذا لا يقوله أحد من أهل العلم ، ولكن معنى ذلك أن المرأة إذا كان عليها ثياب واسعة فضفاضة طويلة ثم حصل لها أن خرج شيء من ساقها أو من نحرها أو ما أشبه ذلك أمام الأخرى فإن هذا ليس فيه إثم
"Aurat wanita dihadapan wanita seperti aurat laki-laki dihadapan laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut, akan tetapi ini bukan berarti bahwa wanita memakai pakaian pendek yang tidak menutup kecuali apa yang ada diantara pusar dan lutut, karena ucapan seperti ini tidak pernah dikatakan oleh para ahli ilmu, akan tetapi maknanya adalah bahwasanya seorang wanita apabila mengenakan pakaian yang luas, tebal, panjang kemudian apabila nampak sebagian kakinya atau lehernya atau yang lainnya, di depan wanita lain maka ini tidak berdosa " (Majmu' Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimiin 12/267)
Wallahu 'alam. Read More......
Jawab:
Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin, washshalaatu wassalaamu 'ala rasulillaah khairil anbiyaa'I wal mursaliin wa 'alaa 'aalihii wa shahbihii ajma'iin. Amma ba'du:
Pada asalnya boleh bagi seorang muslimah berenang di kolam renang khusus muslimah selama tetap menjaga batasan-batasan syari'at , seperti misalnya seluruh wanita muslimah yang berenang di kolam renang tersebut menutup aurat mereka supaya pandangan tidak terjatuh pada sesuatu yang diharamkan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل ولا المرأة إلى عورة المرأة
"Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain" (HR. Muslim, dari Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu)
Beliau shallallahu 'alaihiwasallam juga bersabda:
احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك
"Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budakmu" (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah, dari Mu'awiyah bin Haidah radhiyallahu 'anhu, dan dihasankan Syeikh Al-Albany)
Hadist ini menunjukkan dilarangnya melihat aurat orang lain selain yang disebutkan di atas, yaitu laki-laki melihat aurat laki-laki, dan wanita melihat aurat wanita. (Lihat Fathul Bary, Ibnu Hajar Al-'Asqalany 1/386)
Berkata Syeikh Abdul Muhsin Al-'Abbaad hafizhahullah:
سباحة نساء مع نساء وهن متسترات بثيابهن ليس فيه بأس
"Tidak mengapa para wanita berenang bersama wanita-wanita lain selama mereka dalam keadaan tertutup dengan pakaian mereka" (Syarh Sunan Abi Dawud, diantara pertanyaan yang diajukan kepada beliau setelah Bab Maa Jaa'a fii At-Ta'arry, Kitab Al-Hammaam, kemudian saya tanyakan kembali pertanyaan ini kepada beliau hari Kamis tanggal 6 Shafar 1431 setelah shalat Shubuh, dan beliau menjawab dengan jawaban yang semakna)
Selain itu kolam renang tersebut harus aman dari pandangan laki-laki, kamera, dan yang semisalnya dll, apabila dikhawatirkan hal-hal yang tidak diinginkan -seperti yang banyak terjadi di zaman sekarang- maka tentunya menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan mashlahat (kebaikan).(Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 26/343 ).
Namun meski diperbolehkan dengan syarat-syarat di atas, tentunya tidak diragukan lagi bahwa tetap tinggalnya seorang wanita muslimah di rumah tentu lebih baik dan lebih aman baginya, dan sering keluarnya seorang wanita ke tempat-tempat seperti itu tentunya hal yang tidak baik dan akan membawa fitnah.
Allah ta'aalaa berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى [الأحزاب/33]
"Dan tetaplah kalian berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias seperti berhiasnya orang-orang jahiliyyah dahulu" (QS. Al-Ahzab:33)
Berkata Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu:
الحقيقة يا إخواني خروج المرأة عما حد لها ورسم لها في الشرع يسبب لها ولغيرها البلاء والفساد ، فالمرأة لو كانت تتعلم السباحة في منزلها فإن أحدا لا يمنعها ، لكن أن تخرج من منزلها إلى أماكن تعليم السباحة وبالصفة المذكورة وبملابس لا تستر عورتها فإن ذلك أمر مخالف للشرع ، والواجب على أولياء البنات أن يتقوا الله فيهن ، وأن يحفظوا تلك الأمانة فالله سائلهم عنها
"Pada hakikatnya -wahai saudara-saudaraku-keluarnya seorang wanita dari apa yang sudah digariskan bagi mereka di dalam agama akan menyebabkan kerusakan bagi dirinya dan orang lain. Seorang wanita apabila dia belajar berenang di rumahnya maka tidak ada yang melarangnya, namun apabila dia keluar rumah ke tempat-tempat latihan berenang dengan sifat di atas dan dengan pakaian yang tidak menutup auratnya maka yang demikian itu menyelisihi syari'at, dan kewajiban para wali adalah bertaqwa kepada Allah di dalam urusan anak-anak wanita mereka, dan menjaga amanat tersebut, Allahlah yang akan menanyai mereka kelak" (Majallah Al-Buhuuts Al-Islaamiyyah 68/54 dan 56)
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu juga berkata:
الحمد لله نصيحتي لإخواني ألا يمكنوا نساءهم من دخول نوادي السباحة والألعاب الرياضية لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم حث المرأة أن تبقى في بيتها فقال وهو يتحدث عن حضور النساء للمساجد وهي أماكن العبادة والعلم الشرعي : لا تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير لهن وذلك تحقيقاً لقوله تعالى : ( وقرن في بيوتكن ) ثم إن المرأة إذا اعتادت ذلك تعلقت به تعلقاً كبيراً لقوة عاطفتها وحينئذ تنشغل به عن مهماتها الدينية والدنيوية ويكون حديث نفسها ولسانها في المجالس . ثم إن المرأة إذا قامت بمثل ذلك كان سبباً في نزع الحياء منها وإذا نزع الحياء من المرأة فلا تسأل عن سوء عاقبتها إلا أن يمن الله عليها باستقامة تعيد إليها حياءها الذي جبلت عليه.
وإني حين أختم جوابي هذا أكرر النصيحة لإخواني المؤمنين أن يمنعوا نساءهم من بنات أو أخوات أو زوجات أو غيرهن ممن لهم الولاية عليهن من دخول هذه النوادي ، وأسأل الله تعالى أن يمن على الجميع بالتوفيق والحماية من مضلات الفتن إنه على كل شيء قدير والحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .
"Alhamdulillah, nasehat saya untuk saudara-saudaraku, janganlah kalian mengizinkan wanita-wanita kalian mengikuti klub-klub renang dan olahraga, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa 'alaa 'aalihi wa sallam telah mendorong wanita supaya tetap berada di rumahnya, beliau telah bersabda tentang wanita yang mendatangi masjid yang merupakan tempat ibadah dan ilmu syar'iy: "Janganlah kalian larang hamba-hamba wanita Allah dari masjid-masjid Allah, dan rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka", dan ini adalah perwujudan dari firman Allah (yang artinya): " Dan tetaplah kalian berada di rumah-rumah kalian", kemudian seorang wanita apabila sudah terbiasa melakukan yang demikian maka hatinya akan senantiasa tergantung dengannya karena kuatnya perasaan seorang wanita, ketika sudah demikian maka dia akan tersibukkan dari tugas-tugasnya baik tugas-tugas yang berhubungan dengan agama atau dunia, dan jadilah perkara tersebut terbayang-bayang dalam hatinya dan menjadi bahan pembicaraan dalam perkumulan-perkumpulan. Demikian pula seorang wanita apabila melakukan aktifitas seperti itu maka akan menjadi sebab hilangnya rasa malu pada dirinya, jika sudah hilang rasa malu maka jangan tanya akibatnya, kecuali Allah memberi karunia dengan istiqamah yang mengembalikan rasa malu pada dirinya, yang malu ini merupakan fitrah seorang wanita.
Dan diakhir jawaban ini saya ulangi nasehat saya untuk saudara-saudaraku yang beriman, supaya melarang wanita-wanita mereka baik anak-anak, saudara-saudara, istri-istri atau yang lain yang masih berada di bawah kekuasaan mereka untuk tidak mengikuti klub-klub seperti ini. Dan saya memohon kepada Allah, semoga Allah memberi karunia kepada kita semua dengan taufiq dan penjagaan dari segala fitnah yang menyesatkan, sesungguhnya Dia Maha Mampu melakukan segala sesuatu. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, dan shalawat serta salam Allah atas nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya " (Majallah Ad-Da'wah edisi 1765/54).
Batas aurat wanita di hadapan wanita lain
Jumhur ulama mengatakan bahwa aurat wanita dihadapan wanita lain adalah antara pusar dan lutut. (Lihat Badai'ush Shanaa'i'5/124, Al-Fawaakih Ad-Dawaaniy 1/202, Raudhatuththaalibin 5/370, dan Al-Mughny 9/505).
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin:
وذكر فقهاؤنا رحمهم الله أنه يجوز للمرأة أن تنظر من المرأة جميع بدنها إلا ما بين السرة والركبة
"Para fuqaha kita rahimahumullah menyebutkan bahwa boleh bagi seorang wanita melihat seluruh badan wanita lain kecuali bagian antara pusar dan lutut"(Majmu' Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimiin 12/267)
Mereka mengqiyaskan aurat wanita dihadapan wanita dengan aurat laki-laki di hadapan laki-laki, dan yang mengumpulkan antara keduanya adalah persamaan jenis kelamin.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa aurat wanita di depan wanita sama dengan auratnya di depan mahram yaitu semua badannya kecuali tempat perhiasan yang nampak seperti kepala, telinga, leher, dada bagian atas, pergelangan tangan, pergelangan kaki. Mereka berdalil dengan firman Allah ta'aalaa:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ [النور/31]
" Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam…"(QS. An-Nuur: 31)
Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullahu:
فهذا النص القرآني صريح في أن المرأة لا يجوز لها أن تبدي أمام المسلمة أكثر من هذه المواضع
"Maka nash Al-Quran ini jelas menunjukkan bahwa wanita tidak boleh menampakkan selain tempat-tempat perhiasan tersebut di depan wanita muslimah yang lain" (Ar-Radd Al-Mufhim hal:75 )
Namun meskipun jumhur ulama berpendapat bahwa aurat wanita di hadapan wanita adalah antara pusar dan lutut, bukan berarti bahwasanya seorang wanita muslimah hanya menutup antara pusar sampai kedua lutut ketika dihadapan wanita lain, tapi hendaknya seorang muslimah tetap menjaga rasa malu dan kehormatannya dengan berpakaian di hadapan wanita lain seperti ketika dia berada diantara mahramnya.
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu:
عورة المرأة مع المرأة ، كعورة الرجل مع الرجل أي ما بين السرة والركبة ، ولكن هذا لا يعني أن النساء يلبسن أمام النساء ثياباً قصيرة لا تستر إلا ما بين السرة والركبة فإن هذا لا يقوله أحد من أهل العلم ، ولكن معنى ذلك أن المرأة إذا كان عليها ثياب واسعة فضفاضة طويلة ثم حصل لها أن خرج شيء من ساقها أو من نحرها أو ما أشبه ذلك أمام الأخرى فإن هذا ليس فيه إثم
"Aurat wanita dihadapan wanita seperti aurat laki-laki dihadapan laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut, akan tetapi ini bukan berarti bahwa wanita memakai pakaian pendek yang tidak menutup kecuali apa yang ada diantara pusar dan lutut, karena ucapan seperti ini tidak pernah dikatakan oleh para ahli ilmu, akan tetapi maknanya adalah bahwasanya seorang wanita apabila mengenakan pakaian yang luas, tebal, panjang kemudian apabila nampak sebagian kakinya atau lehernya atau yang lainnya, di depan wanita lain maka ini tidak berdosa " (Majmu' Fataawaa wa Rasaa'il Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimiin 12/267)
Wallahu 'alam. Read More......
Jumat, 15 Januari 2010
Menyembelih Aqiqah Bukan Di Tempat Kita Menetap
Tanya: Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Ustadz saya mau nanya tentang aqiqah, saya sekarang domisili di Jakarta, kampung saya di Padang, saya rencananya mau aqiqah anak saya di Padang, dengan cara saya kirimkan uang ke orang tua istri saya, kemudian beliau akan mencarikan hewan aqiqah di kampung dan hewannya dipotong di kampung, kemudian dibagi-bagikan kepada keluarga, tetangga dan anak yatim di kampung saya, bagaimana menurut syariat ustadz, apakah syah atau harus aqiqah di tempat kita menetap? Jazakumullahu khair. (Abu Aslama, Jakarta)
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu. Tidak disyaratkan untuk sahnya aqiqah harus disembelih di tempat dimana si bayi berada. Namun yang afdhal aqiqah disembelih oleh orang tua sendiri, karena beberapa alasan:
Pertama : Dia langsung merasa mendekatkan diri kepada Allah ta'aalaa dengan menyembelih
Kedua : Dia bisa meyakinkan bahwa hewan tersebut memenuhi syarat.
Ketiga : Dia yakin bahwasanya hewan tersebut disembelih dengan nama Allah
Keempat : Dia bisa memakan sepertiga dari daging aqiqah, sebagai pelaksanaan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu:
إنه ليس المقصودُ من ذبح النسك سواءً كان عقيقةً أو هدياً أو أضحيةً اللحمُ أو الانتفاعُ باللحم ، فالانتفاع باللحم يأتي أمراً ثانوياً .المقصود بذلك هو : أن يتقرب الإنسان إلى الله بالذبح ، هذا أهم شيء ، أما اللحم فقد قال الله تعالى: ( لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ ) الحج/37 .وإذا علمنا ذلك تبين لنا خطأ من يدفعون مالاً ليُضَحَّى عنهم في مكان آخر ، أو يُعَقَّ عن أولادهم في مكانٍ آخر ؛ لأنهم إذا فعلوا ذلك فاتهم المهم ، بل فاتهم الأهم من هذه النسيكة وهو التقرب إلى الله بالذبح ، وأنت لا تدري من يتولى ذبح هذه ، قد يتولاه مَن لا يصلي ، فلا تحل ، أو قد يتولاه مَن لا يسمي عليها ، فلا تحل ، أو قد يُعبث بالذبيحة ولا يُشترى إلا شيئاً لا يُجزئ .فمن الخطأ جداً أن تصرف الدراهم لشراء الأضاحي أو العقائق من مكان آخر ، نقول : اذبحها أنت ، بيدك إن استطعت ، أو بوكيلك ، واشهَدْ ذبحها حتى تشعر بالتقرب إلى الله سبحانه وتعالى بذبحها ، وحتى تأكل منها ؛ لأنك مأمورٌ بالأكل منها ، قال الله تعالى: (فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ) الحج/28 .وقد أوجب كثير من العلماء على الإنسان أن يأكل من كل نسيكةٍ ذبحها تقرباً إلى الله ، كالهدايا ، والعقائق وغيرها ، فهل ستأكل منها وهي في محل بعيد ؟! لا .وإذا كنت تريد أن تنفع إخوانك في مكان بعيد فابعث بالدراهم إليهم ، ابعث بالثياب إليهم ، ابعث بالطعام إليهم ، أما أن تنقل شعيرة من شعائر الإسلام إلى بلاد أخرى فهذا لا شك أنه من الجهل
"Sesungguhnya maksud dari menyembelih dalam rangka ibadah, apakah itu untuk aqiqah atau hadyu (hewan yang disembelih oleh orang yang haji tamattu' atau qiran sebagai rasa syukur) atau qurban bukanlah hanya sekedar daging atau mengambil manfaat dari dagingnya, ini sebenarnya hanya tujuan sampingan saja. Akan tetapi maksud utama adalah bagaimana seseorang bertaqarrub kepada Allah dengan menyembelih hewan tersebut, ini yang paling penting. Adapun daging maka Allah telah berfirman (yang artinya): "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak diangkat kepada Allah, akan tetapi ketakwaan kalianlah yang akan diangkat" (Al-Hajj:37). Apabila kita sudah tahu yang demikian itu, jelas bagi kita kesalahan orang yang mengeluarkan uang untuk disembelihkan di tempat yang lain, atau mengaqiqahkan anaknya di tempat lain, karena kalau itu mereka lakukan luput dari mereka sesuatu yang penting atau yang lebih penting dari ibadah ini, yaitu bertaqarrub (mendekatkan diri) langsung kepada Allah dengan menyembelih.
Demikian pula kamu tidak tahu siapa yang menyembelih, mungkin orang yang tidak shalat sehingga tidak halal dagingnya, atau orangnya tidak menyebut nama Allah sehingga tidak halal, atau dibelikan hewan yang tidak memenuhi syarat, oleh karena membeli hewan qurban atau aqiqah di tempat lain adalah salah sekali. Maka kita katakan: Sembelihlah dengan tanganmu kalau bisa, atau kamu wakilkan dan kamu saksikan pas menyembelihnya supaya kamu merasa bertaqarrub kepada Allah dengan menyembelih. Demikian pula supaya kamu bisa memakan darinya, karena kamu diperintah untuk memakan sebagiannya, Allah ta'aalaa berfirman (yang artinya): "Maka makanlah darinya dan beri makanlah orang yang faqir" Al-Hajj:28, dan banyak para ulama yang mewajibkan seseorang memakan dari hewan yang disembelih dalam rangka bertaqarrub kepada Allah, seperti Al-Hadyu, Al-Aqiqah dan selainnya, apakah kamu bisa memakan darinya sedangkan hewan tersebut berada di tempat yang jauh? Tidak. Dan apabila kamu ingin memberi manfaat kepada saudara-saudaramu di tempat yang jauh maka hendaklah kamu kirim uang, pakaian, dan makanan kepada mereka. Adapun kamu memindahkan sebuah syi'ar diantara syi'ar-syi'ar islam ke negeri lain maka ini tidak diragukan lagi termasuk kejahilan" (Liqa' Babil Maftuh 23/11)
Syeikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan juga mengatakan:
"الأضحية والعقيقة يذبحهما المسلم في بلده وفي بيته ، ويأكل ويتصدق منهما ، ولا يبعث بقيمتهما ليشتري بها ذبيحة وتوزع في بلد آخر ؛ كما ينادي به اليوم بعض الطلبة المبتدئين أو بعض العوام ؛ بحجة أن بعض البلاد فيها فقراء محتاجون، ونحن نقول : إن مساعدة المحتاجين من المسلمين مطلوبة في أي مكان، لكن العبادة التي شرع الله فعلها في مكان معين لا يجوز نقلها منه إلى مكان آخر؛ لأن هذا تصرف وتغيير للعبادة عن الصيغة التي شرعها الله لها،
"Hewan qurban dan aqiqah disembelih oleh seorang muslim di negaranya dan di rumahnya, kemudian memakan, dan bershadaqah dari keduanya, dan hendaknya tidak mengirim uang untuk membeli dan membaginya di negara lain, sebagaimana yang didengung-dengungkan akhir-akhir ini oleh sebagian penuntut ilmu pemula atau orang-orang awam, dengan alasan disana adalah orang-orang faqir yang membutuhkan. (Al-Muntaqaa Min Fataawaa Al-Fauzaan pertanyaan no:393)
Wallahu ta'aalaa a'lam. Read More......
Ustadz saya mau nanya tentang aqiqah, saya sekarang domisili di Jakarta, kampung saya di Padang, saya rencananya mau aqiqah anak saya di Padang, dengan cara saya kirimkan uang ke orang tua istri saya, kemudian beliau akan mencarikan hewan aqiqah di kampung dan hewannya dipotong di kampung, kemudian dibagi-bagikan kepada keluarga, tetangga dan anak yatim di kampung saya, bagaimana menurut syariat ustadz, apakah syah atau harus aqiqah di tempat kita menetap? Jazakumullahu khair. (Abu Aslama, Jakarta)
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu. Tidak disyaratkan untuk sahnya aqiqah harus disembelih di tempat dimana si bayi berada. Namun yang afdhal aqiqah disembelih oleh orang tua sendiri, karena beberapa alasan:
Pertama : Dia langsung merasa mendekatkan diri kepada Allah ta'aalaa dengan menyembelih
Kedua : Dia bisa meyakinkan bahwa hewan tersebut memenuhi syarat.
Ketiga : Dia yakin bahwasanya hewan tersebut disembelih dengan nama Allah
Keempat : Dia bisa memakan sepertiga dari daging aqiqah, sebagai pelaksanaan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu:
إنه ليس المقصودُ من ذبح النسك سواءً كان عقيقةً أو هدياً أو أضحيةً اللحمُ أو الانتفاعُ باللحم ، فالانتفاع باللحم يأتي أمراً ثانوياً .المقصود بذلك هو : أن يتقرب الإنسان إلى الله بالذبح ، هذا أهم شيء ، أما اللحم فقد قال الله تعالى: ( لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ ) الحج/37 .وإذا علمنا ذلك تبين لنا خطأ من يدفعون مالاً ليُضَحَّى عنهم في مكان آخر ، أو يُعَقَّ عن أولادهم في مكانٍ آخر ؛ لأنهم إذا فعلوا ذلك فاتهم المهم ، بل فاتهم الأهم من هذه النسيكة وهو التقرب إلى الله بالذبح ، وأنت لا تدري من يتولى ذبح هذه ، قد يتولاه مَن لا يصلي ، فلا تحل ، أو قد يتولاه مَن لا يسمي عليها ، فلا تحل ، أو قد يُعبث بالذبيحة ولا يُشترى إلا شيئاً لا يُجزئ .فمن الخطأ جداً أن تصرف الدراهم لشراء الأضاحي أو العقائق من مكان آخر ، نقول : اذبحها أنت ، بيدك إن استطعت ، أو بوكيلك ، واشهَدْ ذبحها حتى تشعر بالتقرب إلى الله سبحانه وتعالى بذبحها ، وحتى تأكل منها ؛ لأنك مأمورٌ بالأكل منها ، قال الله تعالى: (فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ) الحج/28 .وقد أوجب كثير من العلماء على الإنسان أن يأكل من كل نسيكةٍ ذبحها تقرباً إلى الله ، كالهدايا ، والعقائق وغيرها ، فهل ستأكل منها وهي في محل بعيد ؟! لا .وإذا كنت تريد أن تنفع إخوانك في مكان بعيد فابعث بالدراهم إليهم ، ابعث بالثياب إليهم ، ابعث بالطعام إليهم ، أما أن تنقل شعيرة من شعائر الإسلام إلى بلاد أخرى فهذا لا شك أنه من الجهل
"Sesungguhnya maksud dari menyembelih dalam rangka ibadah, apakah itu untuk aqiqah atau hadyu (hewan yang disembelih oleh orang yang haji tamattu' atau qiran sebagai rasa syukur) atau qurban bukanlah hanya sekedar daging atau mengambil manfaat dari dagingnya, ini sebenarnya hanya tujuan sampingan saja. Akan tetapi maksud utama adalah bagaimana seseorang bertaqarrub kepada Allah dengan menyembelih hewan tersebut, ini yang paling penting. Adapun daging maka Allah telah berfirman (yang artinya): "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak diangkat kepada Allah, akan tetapi ketakwaan kalianlah yang akan diangkat" (Al-Hajj:37). Apabila kita sudah tahu yang demikian itu, jelas bagi kita kesalahan orang yang mengeluarkan uang untuk disembelihkan di tempat yang lain, atau mengaqiqahkan anaknya di tempat lain, karena kalau itu mereka lakukan luput dari mereka sesuatu yang penting atau yang lebih penting dari ibadah ini, yaitu bertaqarrub (mendekatkan diri) langsung kepada Allah dengan menyembelih.
Demikian pula kamu tidak tahu siapa yang menyembelih, mungkin orang yang tidak shalat sehingga tidak halal dagingnya, atau orangnya tidak menyebut nama Allah sehingga tidak halal, atau dibelikan hewan yang tidak memenuhi syarat, oleh karena membeli hewan qurban atau aqiqah di tempat lain adalah salah sekali. Maka kita katakan: Sembelihlah dengan tanganmu kalau bisa, atau kamu wakilkan dan kamu saksikan pas menyembelihnya supaya kamu merasa bertaqarrub kepada Allah dengan menyembelih. Demikian pula supaya kamu bisa memakan darinya, karena kamu diperintah untuk memakan sebagiannya, Allah ta'aalaa berfirman (yang artinya): "Maka makanlah darinya dan beri makanlah orang yang faqir" Al-Hajj:28, dan banyak para ulama yang mewajibkan seseorang memakan dari hewan yang disembelih dalam rangka bertaqarrub kepada Allah, seperti Al-Hadyu, Al-Aqiqah dan selainnya, apakah kamu bisa memakan darinya sedangkan hewan tersebut berada di tempat yang jauh? Tidak. Dan apabila kamu ingin memberi manfaat kepada saudara-saudaramu di tempat yang jauh maka hendaklah kamu kirim uang, pakaian, dan makanan kepada mereka. Adapun kamu memindahkan sebuah syi'ar diantara syi'ar-syi'ar islam ke negeri lain maka ini tidak diragukan lagi termasuk kejahilan" (Liqa' Babil Maftuh 23/11)
Syeikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan juga mengatakan:
"الأضحية والعقيقة يذبحهما المسلم في بلده وفي بيته ، ويأكل ويتصدق منهما ، ولا يبعث بقيمتهما ليشتري بها ذبيحة وتوزع في بلد آخر ؛ كما ينادي به اليوم بعض الطلبة المبتدئين أو بعض العوام ؛ بحجة أن بعض البلاد فيها فقراء محتاجون، ونحن نقول : إن مساعدة المحتاجين من المسلمين مطلوبة في أي مكان، لكن العبادة التي شرع الله فعلها في مكان معين لا يجوز نقلها منه إلى مكان آخر؛ لأن هذا تصرف وتغيير للعبادة عن الصيغة التي شرعها الله لها،
"Hewan qurban dan aqiqah disembelih oleh seorang muslim di negaranya dan di rumahnya, kemudian memakan, dan bershadaqah dari keduanya, dan hendaknya tidak mengirim uang untuk membeli dan membaginya di negara lain, sebagaimana yang didengung-dengungkan akhir-akhir ini oleh sebagian penuntut ilmu pemula atau orang-orang awam, dengan alasan disana adalah orang-orang faqir yang membutuhkan. (Al-Muntaqaa Min Fataawaa Al-Fauzaan pertanyaan no:393)
Wallahu ta'aalaa a'lam. Read More......
Senin, 11 Januari 2010
Shalat Jumat Bagi Pekerja Yang Jauh Dari Pemukiman
Tanya: Assalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuhu.. Ustadz, saya bekerja di lokasi pengeboran. Selama saya di lokasi (2 - 3 minggu), saya tidak pernah sholat jumat, dikarenakan situasi dan kondisinya yg tidak memungkinkan. Diantaranya adalah tuntutan kerja yang tidak boleh saya tinggalkan, selain itu juga perlu waktu 1 jam untuk menuju masjid. Saya mau tanya, apakah saya berdosa jika saya tidak menunaikannya walaupun saya ganti dengan sholat Zhuhur? atau jangan2 pekerjaan ini termasuk yg tidak diridhoi Allah? Terima Kasih atas penjelasan Ustadz. (Syaiful Kamal)
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Apabila lokasi pengeboran berada di luar kota dan adzan jum'at tidak terdengar dari lokasi kerja karena jauhnya maka antum tidak berkewajiban shalat jumat, karena termasuk syarat wajib menghadiri shalat Jum'at adalah mendengar panggilan adzan. Dari Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الجمعة على كل من سمع النداء
"(Shalat) jum'at itu wajib atas orang yang mendengar panggilan adzan" (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa' 3/58).
Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ahmad, Imam Syafi'iy, dan Ishaq (Lihat Sunan At-Tirmidzy 2/374)
Dan ukuran seseorang dikatakan mendengar panggilan adzan menurut mayoritas ulama adalah apabila orang tersebut diperkirakan mendengar adzan yang dikumandangkan oleh orang yang keras suaranya, dalam keadaan angin tenang, tidak ada suara yang mengganggu, tidak ada penghalang, dan pendengaran orang yang mendengar tersebut sehat, ada diantara ulama yang mengatakan bahwa jaraknya sekitar satu farsakh atau 3 mil atau kurang lebih 5 km ( Lihat Al-Muhadzdzab beserta Al-Majmu' 4/354, Kasysyaaful Qina' 1/503, dan At-Tamhid 10/281)
Al-Lajnah Ad-Daimah pernah ditanya tentang pertanyaan semakna, kemudian Al-Lajnah menjawab:
إذا كان الواقع كما ذكرت من البعد فليس عليك جمعة، وعليك أن تصلي الظهر، ولكن الخير لك أن تسعى مستقبلًا في عمل بمكان قريب من العمران، حتى تكون قريبًا من المساجد، وتتمكن من صلاة الجمعة والجماعة مع المسلمين في المساجد، وتسمع المواعظ، وتتعلم ما تحتاجه من أمور دينك
"Apabila keadaannya seperti yang antum sebutkan, yaitu lokasi yang jauh, maka kamu tidak berkewajiban shalat jum'at, dan kewajibanmu hanyalah shalat dhuhur, akan tetapi yang lebih baik bagimu adalah berusaha mencari pekerjaan yang dekat dengan bangunan-bangunan supaya dekat dengan masjid, dan kamu bisa menunaikan shalat jumat dan jama'ah bersama kaum muslimin di masjid-masjid, mendengarkan nasehat-nasehat, serta mempelajari perkara-perkara agama yang kamu butuhkan" (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah 8/195)
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu:
إذا كان هؤلاء العمال بعيدين عن المسجد بحيث لا يسمعون النداء لولا مكبر الصوت وهم خارج البلد، فإن الجمعة لا تلزمهم، ويطمئن العمال بأنه لا إثم عليهم في البقاء في المزرعة ويصلون ظهراً، ويشار على كفيلهم أن يأذن لهم؛ لأن في ذلك خيراً وخيراً لهم، وتطييباً لقلوبهم وربما يكون ذلك سبباً في نصحهم إذا قاموا بالعمل، بخلاف ما إذا ضغط عليهم
"Apabila para pekerja tersebut tinggal jauh dari masjid sehingga tidak bisa mendengar adzan kecuali kalau ada mikrofon, sedangkan mereka berada di luar kota, maka mereka tidak wajib shalat jum'at, dan mereka bisa tenang bahwa mereka tidak berdosa tetap tinggal di kebun dan shalat dhuhur disana, dan hendaknya majikan dianjurkan untuk mengizinkan mereka shalat jum'at karena di dalamnya ada kebaikan yang banyak, dan menyenangkan hatinya, dan mungkin ini sebagai sebab membaiknya mereka dalam bekerja, lain halnya apabila kerjanya ditekan terus" (Majmu' Fatawa wa Rasail Syeikh 'Utsaimin 16/77 no:1218)
Demikian pula apabila pekerjaan tersebut sama sekali tidak bisa ditinggalkan, seperti menjaga kesinambungan kerja mesin maka ini merupakan udzur/alasan yang syar'iy insya Allah ta'aalaa.
Allah ta'aalaa berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16]
"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian" (QS. At-Taghabun: 16).
Berkata Syeikh Shalih bin Fauzan rahimahullah:
وأما قضية إذا كان العمل يتطلب من يبقى حارسًا على معدات أو أشياء مالية يخاف عليها لو ذهب الجميع للصلاة؛ فإنه لا بأس أن يبقى من تنسد به الحاجة لأجل حراسة هذه الأموال، ويكون معذورًا عن حضور الجمعة والجماعة .
"Adapun apabila pekerjaan tersebut mengharuskan adanya orang yang menjaga mesin-mesin atau harta benda yang dikhawatirkan hilang jika semua shalat maka tidak mengapa sebagian -sesuai dengan kebutuhan- tetap tinggal di tempat untuk menjaga harta benda tersebut, dan dia dimaafkan dari menghadiri jum'at dan jama'ah" (Al-Muntaqa min Fatawa Syeikh Shalih Al-Fauzan Jilid 3 no: 64)
Wallahu a'lam. Read More......
Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.
Apabila lokasi pengeboran berada di luar kota dan adzan jum'at tidak terdengar dari lokasi kerja karena jauhnya maka antum tidak berkewajiban shalat jumat, karena termasuk syarat wajib menghadiri shalat Jum'at adalah mendengar panggilan adzan. Dari Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الجمعة على كل من سمع النداء
"(Shalat) jum'at itu wajib atas orang yang mendengar panggilan adzan" (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa' 3/58).
Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ahmad, Imam Syafi'iy, dan Ishaq (Lihat Sunan At-Tirmidzy 2/374)
Dan ukuran seseorang dikatakan mendengar panggilan adzan menurut mayoritas ulama adalah apabila orang tersebut diperkirakan mendengar adzan yang dikumandangkan oleh orang yang keras suaranya, dalam keadaan angin tenang, tidak ada suara yang mengganggu, tidak ada penghalang, dan pendengaran orang yang mendengar tersebut sehat, ada diantara ulama yang mengatakan bahwa jaraknya sekitar satu farsakh atau 3 mil atau kurang lebih 5 km ( Lihat Al-Muhadzdzab beserta Al-Majmu' 4/354, Kasysyaaful Qina' 1/503, dan At-Tamhid 10/281)
Al-Lajnah Ad-Daimah pernah ditanya tentang pertanyaan semakna, kemudian Al-Lajnah menjawab:
إذا كان الواقع كما ذكرت من البعد فليس عليك جمعة، وعليك أن تصلي الظهر، ولكن الخير لك أن تسعى مستقبلًا في عمل بمكان قريب من العمران، حتى تكون قريبًا من المساجد، وتتمكن من صلاة الجمعة والجماعة مع المسلمين في المساجد، وتسمع المواعظ، وتتعلم ما تحتاجه من أمور دينك
"Apabila keadaannya seperti yang antum sebutkan, yaitu lokasi yang jauh, maka kamu tidak berkewajiban shalat jum'at, dan kewajibanmu hanyalah shalat dhuhur, akan tetapi yang lebih baik bagimu adalah berusaha mencari pekerjaan yang dekat dengan bangunan-bangunan supaya dekat dengan masjid, dan kamu bisa menunaikan shalat jumat dan jama'ah bersama kaum muslimin di masjid-masjid, mendengarkan nasehat-nasehat, serta mempelajari perkara-perkara agama yang kamu butuhkan" (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah 8/195)
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu:
إذا كان هؤلاء العمال بعيدين عن المسجد بحيث لا يسمعون النداء لولا مكبر الصوت وهم خارج البلد، فإن الجمعة لا تلزمهم، ويطمئن العمال بأنه لا إثم عليهم في البقاء في المزرعة ويصلون ظهراً، ويشار على كفيلهم أن يأذن لهم؛ لأن في ذلك خيراً وخيراً لهم، وتطييباً لقلوبهم وربما يكون ذلك سبباً في نصحهم إذا قاموا بالعمل، بخلاف ما إذا ضغط عليهم
"Apabila para pekerja tersebut tinggal jauh dari masjid sehingga tidak bisa mendengar adzan kecuali kalau ada mikrofon, sedangkan mereka berada di luar kota, maka mereka tidak wajib shalat jum'at, dan mereka bisa tenang bahwa mereka tidak berdosa tetap tinggal di kebun dan shalat dhuhur disana, dan hendaknya majikan dianjurkan untuk mengizinkan mereka shalat jum'at karena di dalamnya ada kebaikan yang banyak, dan menyenangkan hatinya, dan mungkin ini sebagai sebab membaiknya mereka dalam bekerja, lain halnya apabila kerjanya ditekan terus" (Majmu' Fatawa wa Rasail Syeikh 'Utsaimin 16/77 no:1218)
Demikian pula apabila pekerjaan tersebut sama sekali tidak bisa ditinggalkan, seperti menjaga kesinambungan kerja mesin maka ini merupakan udzur/alasan yang syar'iy insya Allah ta'aalaa.
Allah ta'aalaa berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16]
"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian" (QS. At-Taghabun: 16).
Berkata Syeikh Shalih bin Fauzan rahimahullah:
وأما قضية إذا كان العمل يتطلب من يبقى حارسًا على معدات أو أشياء مالية يخاف عليها لو ذهب الجميع للصلاة؛ فإنه لا بأس أن يبقى من تنسد به الحاجة لأجل حراسة هذه الأموال، ويكون معذورًا عن حضور الجمعة والجماعة .
"Adapun apabila pekerjaan tersebut mengharuskan adanya orang yang menjaga mesin-mesin atau harta benda yang dikhawatirkan hilang jika semua shalat maka tidak mengapa sebagian -sesuai dengan kebutuhan- tetap tinggal di tempat untuk menjaga harta benda tersebut, dan dia dimaafkan dari menghadiri jum'at dan jama'ah" (Al-Muntaqa min Fatawa Syeikh Shalih Al-Fauzan Jilid 3 no: 64)
Wallahu a'lam. Read More......
Langganan:
Postingan (Atom)