Minggu, 31 Juli 2011

Lafazh Adzan Dan Iqomah Untuk Bayi Baru Lahir

Tanya: Assalamualaikum. Apakah adzan dan iqomah untuk bayi baru lahir sama dengan adzan dan iqomah waktu akan melakukan sholat? (Didik)

Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Sebelum kami menjawab pertanyaan diatas, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum adzan dan iqomat bagi bayi yang baru lahir, sunnahkah adzan di telinga bayi yang baru lahir? Masalah ini harus kita perhatikan dengan baik, sebab kebanyakan para penulis yang membahas masalah ini menegaskan sunnahnya mengadzani bayi, sampai para ulama sekelas Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/389) dan Imam Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud hal.61.
Padahal perkaranya tidak demikian, yaitu tidak disyariatkan mengadzani bayi yang baru lahir. Karena seluruh riwayat tentang masalah tersebut derajatnya lemah, sehingga tidak boleh dijadikan sandaran hukum dalam beramal. Kelemahan riwayat tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh al-Albani dalam ad-Dho’iifah no.321 dan dijelaskan tentang kelemahannya dengan bagus oleh penulis Ahkam al-Maulud Fis Sunnah al-Muthohharoh hal.34-39. lihat pula Tahqiq Syaikh Salim al-Hilali terhadap kitab Tuhfatul Maudud hal.61-65 yang kesimpulannya beliau menilai lemah riwayat mengadzani di telinga bayi yang baru lahir.
Berhubungan dengan pertanyaan di atas, anggaplah bahwa riwayat mengadzani di telinga bayi adalah shohih (padahal lemah), apakah sama lafazh adzannya dengan lafazh adzan untuk shalat? Jawabnya; lafazhnya adalah sama, karena rahasia disyariatkannya (Padahal tidak disyariatkan) mengadzani bayi agar kalimat pertama yang di dengar oleh bayi baru lahir adalah kalimat adzan yang berisi tetang keagungan Alloh, syahadat tauhid dan lain-lain. Juga hikmah yang lain agar dengan adzan ini membuat setan lari, karena setan akan selalu mengintai manusia untuk mengganggu dan memberi ujian.(Lihat Tuhfatul Maudud hal.64)
Allohu A’lam



Syahrul Fatwa Read More......

Seputar Makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

Tanya: Apa benar makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang di dekat Masjid Nabawi itu? Terus ceritanya bagaimana kok makamnya dibikin bangunan/dibangun, sedangkan Rosulullah sendiri melarangnya, termasuk masjid yang di dalamnya ada makamnya kan tidak boleh juga. Apa benar dulu sempat ada rencana pencurian jenazah Rosulullah oleh orang nasrani?
Terus apa benar dulu pernah mau dibongkar oleh "Wahabi", dan apa alasannya? Jazakallahukhairan. (Mimin Deca Kurniawan)

Jawab:
Alhamdulillah washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillah, wa 'alaa aalihi wa shahbihi ajma'in.
Makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terletak di rumah Ummul Mu'minin 'Aisyah radhiyallahu 'anha, yang dahulu letaknya disamping kiri masjid nabawi, tempat yang sekarang dikenal sebagai kuburan beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Dari Ummul Mu'minin 'Aisyah radhiyallahu 'anhaa beliau berkata:
فلما كان يومي قبضه الله بين سحري ونحري ودفن في بيتي
Artinya: "Maka ketika sampai di hari giliranku, Allah ta'ala mencabut ruh beliau sedangkan beliau berada diantara dada dan leherku, dan beliau dikubur di rumahku" (HR.Al-Bukhary)
Para ulama menyebutkan bahwa hal ini adalah menjadi kesepakatan (ijma') kaum muslimin.
Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahullah:
ولا خلاف بين العلماء أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دفن في الموضع الذي مات فيه من بيته بيت عائشة ( رضي الله عنها ) ثم أدخلت بيوته المعروفة لأزواجه بعد موته في مسجده فصار قبره في المسجد صلى الله عليه و سلم
Artinya: "Dan tidak ada khilaf diantara para ulama bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dikuburkan di tempat beliau meninggal, yaitu di rumah beliau, tepatnya di rumah 'Aisyah radhiyallahu 'anha kemudian sepeninggal beliau , dimasukkanlah rumah-rumah istri beliau ke dalam masjid, sehingga jadilah kuburan beliau di dalam masjid" (Al-Istidzkar 8/287-288).
Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
ليس في الأرض قبر نبي معلوم بالتواتر والإجماع إلا قبر نبينا وما سواه ففيه نزاع
Artinya: "Tidak ada di dunia ini kuburan nabi yang diketahui secara mutawatir dan ijma' (sepakat) kecuali kuburan nabi kita, adapun yang lain maka terdapat perselisihan" (Majmu' Al Fatawa 27/254).
Adapun bangunan yang berada di atas kuburan nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka sebagaimana yang kami sampaikan di atas bahwa beliau dikubur di dalam rumah. Dan para sahabat radhiyallahu 'anhum sengaja tidak membongkar rumah 'Aisyah karena ditakutkan nanti dijadikan tempat shalat atau sujud, sebagaimana ucapan 'Aisyah:
عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم في مرضه الذي لم يقم منه: ( لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد ) . لولا ذلك أبرز قبره غير أنه خشي أو خشي أن يتخذ مسجدا
Artinya: Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda disaat beliau sakit yang beliau tidak bisa bangun karenanya: "Allah melaknat orang-orang yahudi dan nashrani, yang telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid (atau tempat bersujud)". Kemudian 'Aisyah berkata: Kalau bukan karena sabda nabi ini niscaya akan dinampakkan kuburan beliau, akan tetapi hal itu tidak dilakukan karena takut dijadikan tempat bersujud (shalat).(Muttafaqun 'alaihi).
Makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam awalnya bukan di dalam masjid, sampai di masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin juga demikian, kemudian ketika para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal semua, dan Al-Walid bin Abdul Malik (antara tahun 80 H-100 H) memegang pemerintahan beliau memerintahkan gubernur Madinah saat itu, Umar bin Abdul Aziz rahimahullahu, untuk memperluas masjid Nabawi karena kaum muslimin yang semakin hari semakin banyak. Namun yang disayangkan adalah diperluasnya masjid nabawi ke arah timur sehingga masuklah rumah 'Aisyah yang di dalamnya ada makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan Umar ke dalam area masjid. Para ulama saat itu -diantaranya adalah tujuh ahli fiqh Madinah di zaman tabi'in- mengingkari dengan lisan perluasan ke arah timur ini, karena hadist-hadist menunjukkan larangan membangun masjid di atas kuburan.
Adapun usaha pencurian jasad Nabi shallallahu 'alaihi wasallam oleh orang nashrani maka ceritanya ada di kitab Wafaa'ul Wafaa (2/431-433) karangan As-Samhudi (wafat 911 H), namun sebagian ulama meragukan kebenaran kisah ini.
Tidak benar berita bahwa orang-orang yang dinamakan oleh sebagian orang dengan "Wahabi" pernah mau membongkar kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan memindahkan jenazahnya. Bagaimana mereka melakukannya sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ما قبض الله نبيا إلا في الموضع الذي يحب أن يدفن فيه
Artinya: "Allah tidak mencabut ruh seorang nabi kecuali di tempat yang dia (nabi tersebut) ingin supaya dia dikuburkan disitu" (HR. At-Tirmidzy, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany).
Wallahu a'lam.


Abdullah Roy Read More......

Minggu, 24 Juli 2011

Menjalankan Kotak Infak Ketika Khuthbah Jumat

Tanya: Assalamu'alaikum. Ustadz, bagaimana hukum menjalankan kotak infaq di masjid pada saat ada khotib naik mimbar atau pada saat pengajian rutin? Jazakallahu khoiron. (Mujiono, Tanjungpinang)

Jawab:
Wa’alaikumussalam warohmatullohi wa barakaatuh.
Pertanyaan ini mengandung dua pertanyaan;
Pertama: Hukum menjalankan kotak infak di masjid saat khotib naik mimbar
Kedua: Hukum menjalankan kotak infak saat pengajian rutin

Adapun jawaban soal pertama, maka sebagaimana kita maklumi bersama bahwa khutbah Jum’at merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan shalat Jum’at. Bahkan mayoritas ulama mengatakan bahwa khutbah jum’at adalah syarat sahnya shalat jum’at. (Lihat Al-Mughni 2/74, Bada’I as-Shona’I 1/262)
Karena urgennya khutbah jum’at maka ada beberapa perkara yang harus di perhatikan oleh para hadirin shalat jum’at. Diantaranya adalah larangan berbicara ketika khotib sedang menyampaikan khutbahnya, berdasarkan hadits;
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Artinya: "Apabila engkau berkata kepada saudaramu pada hari jum’at: Diamlah!Sedangkan imam sedang berkhutbah maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia. (HR.Bukhari: 934, Muslim: 851)
Demikian pula tidak diperkenankan bagi para hadirin untuk melakukan perbuatan sia-sia seperti bermain-main batu krikil, bermain-main jam dan sebagainya. Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Artinya: "Barangsiapa yang berwudhu dan membagusi wudhunya kemudian mendatangi shalat jum'at dan diam mendengarkan khutbah, maka baginya ampunan antara jumat dengan jum'at berikutnya dan tambahan tiga hari. Barangsiapa yang memegang batu krikil sungguh dia telah berbuat sia-sia. ( HR.Muslim: 857)
Imam an-Nawawi rahimahullahu mengatakan: “Hadits ini berisi larangan dari memegang batu krikil dan selainnya dari jenis-jenis perbuatan yang sia-sia ketika khutbah jum’at. Dan di dalam hadits ini juga terdapat isyarat untuk menghadapkan hati dan anggota badan saat sedang khutbah jum’at”. (Syarah Shohih Muslim 3/229)
Berkata Syeikh Masyhur Hasan Salman:
ومن هذا الباب ما شاهدته من بعض سنوات في بعض مساجد القرى، من الدوران على الناس يوم الجمعة بصندوق لجمع التبرعات والإمام يخطب
Artinya: "Dan termasuk dalam bab ini (kesalahan yang berkaitan dengan shalat jumat) apa yang saya saksikan beberapa tahun ini di masjid-masjid pedesaan, dimana mereka menjalankan kotak amal pada hari jumat sedangkan imam dalam keadaan berkhuthbah" (Al-Qaulul Mubin fii Akhthaail Mushalliin hal:340)
Dari sini, maka tidak sepantasnya mengedarkan kotak amal saat khotib naik mimbar. Karena hal itu dapat mengganggu khutbah dan membuyarkan konsentrasi para makmum yang sedang mendengarkan khutbah. Selayaknya kotak amal tersebut diletakkan di depan masjid atau tempat lainnya yang tidak mengganggu jalannya ibadah.
Adapun soal kedua, menjalankan kotak amal saat pengajian rutin maka hukum asalnya adalah boleh, dan saya tidak mengetahui ada dalil yang melarangnya. Allohu A’lam.


Syahrul Fatwa Read More......

Sabtu, 16 Juli 2011

Aqiqah Anak Yang Sudah Meninggal

Tanya: Bagaimana hukumnya mengaqiqahkan anak yang sudah wafat? Apakah kewajiban orang tua belum gugur? Mohon dijawab terima kasih. Wassalamualaikum. (Ardiansyah Permadi)


Jawab:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu. Alhamdulillah washshalatu wassalamu 'alaa rasulillah.
Aqiqah termasuk sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dianjurkan. Berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasululloh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
Artinya: "Setiap bayi tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelihkan kambing pada hari ke-7, dicukur rambutnya serta diberi nama" (HR.Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’iy, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abdul Haq, lihat at-Talkhis 4/1498 oleh Ibnu Hajar)
Maksud tergadaikan di sini adalah tertahan dari suatu kebaikan yang seharusnya diperoleh jika ia diaqiqahi. Karena seorang bisa kehilangan memperoleh kebaikan karena perbuatannya sendiri atau karena perbuatan orang lain. (Lihat Tuhfatul Maudud,Ibnul Qayyim hal.122-123, tahqiq: Syeikh Salim al-Hilali)
Berdasarkan perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits diatas maka tidak selayaknya meninggalkan aqiqah jika mampu. Bahkan kebiasaan para salaf mereka senantiasa melaksanakan aqiqah untuk anak-anak mereka.
Yahya al-Anshori rahimahullahu mengatakan: “Aku menjumpai manusia dan mereka tidak meninggalkan aqiqah dari anak laki-laki maupun perempuan”. (Al-Fath ar-Robbani, Ibnul Mundzir 13/124, lihat Ahkam al-Maulud hal.51, Salim bin Ali Rosyid as-Sibli dan Muhammad Kholifah Muhammad Robah)
Berhubungan dengan mengaqiqahi orang yang sudah meninggal maka tidak lepas dari tiga keadaan;
Pertama: Orang tua mengaqiqahi anak yang telah meninggal. Jika anak tersebut meninggal ketika sudah terlahir ke dunia, tetap disyariatkan untuk diaqiqahi.
Dan jika meninggalnya masih dalam kandungan dan sudah berusia 4 bulan maka disyariatkan aqiqah, jika kurang dari 4 bulan maka tidak disyariatkan.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengatakan: “Apabila janin itu keguguran setelah ditiupkannya ruh maka janin tersebut dimandikan, dikafani, disholati dan dikubur di pekuburan kaum muslimin, serta diberi nama dan diaqiqahi. Karena dia sekarang telah menjadi seorang manusia, maka berlaku pula baginya hukum orang dewasa”. (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyyah hal.90, Ibnu Utsaimin)
Kedua: Anak mengaqiqahi orang tua yang sudah meninggal. Hukumnya tidak disyariatkan, karena perintah aqiqah ditujukan kepada orang tua bukan kepada anak.
Ketiga: Mengaqiqahi seorang manusia yang telah meninggal. Jika ada seseorang yang meninggal dan dia semasa hidupnya belum diaqiqahi, maka tidak disyariatkan bagi ahli warisnya untuk mengaqiqahinya. Allohu A’lam. (Faedah ini kami dapat dari Syaikhuna Saami bin Muhammad as-Shuqair, murid senior dan menantu Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, Jazaahullohu Khoiron).



Syahrul Fatwa Read More......

Sabtu, 09 Juli 2011

Tidak Sengaja Keluar Air Madzi Ketika Shalat, Apakah Membatalkan Shalat?

Tanya: Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu. Dengan hormat saya mau bertanya, apa hukumnya (sah atau tidak) jika air madzi keluar waktu shalat karena saya tidak sengaja membayangkan hal hal yang mendatangkan syahwat pada waktu shalat ? Mohon penjelasan. (RD)

Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullohi wa barokaatuh
Tidak kita ragukan bahwa shalat adalah ibadah yang paling agung. Karena agungnya perkara shalat, ada beberapa syarat yang harus di perhatikan seorang muslim ketika menjalaninya. Diantara syarat shalat adalah suci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
Dari Abu Hurairoh rodhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
Artinya: Alloh tidak menerima shalat seorang diantara kalian apabila berhadats hingga ia berwudhu. (HR.Bukhari: 135, Muslim: 225).
Dan madzi termasuk hadats kecil yang membatalkan wudhu seseorang, berdasarkan hadits Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu beliau berkata:
كنت رجلا مذاء وكنت أستحيي أن أسأل النبي صلى الله عليه و سلم لمكان ابنته فأمرت المقداد بن الأسود فسأله فقال: يغسل ذكره ويتوضأ
Artinya: Aku adalah laki-laki yang sering mengeluarkan air madzi, dan aku malu bertanya kepada Rasululloh shollallohu 'alaihi wa sallam karena kedudukan putrinya disisiku. Maka aku perintahkan Al-Miqdad bin Al-Aswad agar bertanya kepada beliau tentang permasalahan yang aku alami. Maka Rasululloh menjawab: Hendaklah dia mencuci kemaluannya dan berwudhu. (HR.Bukhari: 132, Muslim: 303).

Al-Imam al-Faakihii rohimahullohu mengatakan: “Aku tidak mengetahui ada perselisihan diantara ummat ini tentang batalnya wudhu karena sebab madzi”. (Al-I’lam Bi Fawaid ‘Umdah al-Ahkam, Ibnul Mulaqqin 1/650).

Dengan demikian, orang yang sedang shalat dan keluar air madzinya, maka wudhunya telah batal dan secara otomatis shalatnya juga batal. Wajib baginya shalat kembali setelah sebelumnya membersihkan kemaluan dan berwudhu terlebih dahulu. Adapun keluarnya air madzi karena sebab ketidak sengajaan, maka hal ini tidak merubah status hukumnya, yaitu shalat antum tetap batal dan harus diulang. Karena yang namanya syarat sebuah ibadah harus terpenuhi dan tidak ada dispensasi karena lupa, tidak sengaja dan lain-lain.

Dan hendaknya seorang muslim mengambil sebab-sebab yang mendatangkan kekhusyukan di dalam shalat dan menjauhi hal-hal yang menyebabkan kelalaian di dalamnya. Allah ta'aalaa berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) (المؤمنون/1،2
Artinya: "Sungguh beruntung orang yang beriman, yang mereka khusyuk dalam shalat mereka" (QS. Al-Mu'minun 1-2)
Allohu A’lam.


Syahrul Fatwa Read More......

Rabu, 06 Juli 2011

Kabar Baru: Kehadiran Ustadz Syahrul Fatwa di Blog

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Insya Allah mulai bulan Juli 2011 Ustadz Syahrul Fatwa hafizhahullah akan membantu saya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pembaca, beliau adalah alumni Ma'had Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin di Unaizah, Saudi Arabia, beliau sekarang aktif mengarang buku, dan menulis di Majalah Al Furqon, serta menjadi staf pengajar di Ma'had Riyadhushshalihin Pandeglang, Banten. Semoga Allah ta'aalaa memudahkan. Read More......

Menyapih (Memutuskan ASI) Sebelum Dua Tahun

Tanya: Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ustadz, mau tanya, seorang wanita yang memutuskan ASI anaknya yang berumur 15 bulan karena akan pergi haji (sunnah) karena diajak suami, apakah termasuk berdosa? Jazakallah khairan. (Abu Faruq)


Jawab: Wa'alaikumsalamwarahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillaah wa 'alaa 'aalihii wa shahbihi ajma'in.
Mendapatkan ASI adalah hak seorang bayi, dan masa yang sempurna untuk mendapatkan ASI adalah 2 tahun penuh, sebagaimana firman Allah ta'aalaa:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ [البقرة/233]
"Dan ibu-ibu hendaknya menyusui anak-anaknya dua tahun penuh, bagi siapa yang mau menyempurnakan" (QS. Al-Baqarah:233)
Apabila kita ingin menyapihnya sebelum 2 tahun maka boleh dengan 2 syarat:
Pertama: Keridhaan kedua orang tua, dan tidak cukup keridhaan salah satunya.
Allah berfirman:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا [البقرة/233]
Artinya: "Maka apabila keduanya ingin menyapih dengan keridhaan dan musyawarah maka tidak ada dosa baginya" (QS. Al-Baqarah:233)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
فإن اتفق والدا الطفل على فطامه قبل الحولين، ورأيا في ذلك مصلحة له، وتشاورا في ذلك، وأجمعا عليه، فلا جناح عليهما في ذلك، فيؤْخَذُ منه: أن انفراد أحدهما بذلك دون الآخر لا يكفي، ولا يجوز لواحد منهما أن يستبد بذلك من غير مشاورة الآخر، قاله الثوري وغيره، وهذا فيه احتياط للطفل، وإلزام للنظر في أمره، وهو من رحمة الله بعباده، حيث حجر على الوالدين في تربية طفلهما وأرشدهما إلى ما يصلحه ويصلحهما
Artinya:"Maka apabila kedua orang tua bayi bersepakat untuk menyapihnya sebelum 2 tahun, dan keduanya melihat bahwasanya di dalamnya ada mashlahat (kebaikan) bagi sang bayi, keduanya bermusyawarah kemudian bersepakat untuk menyapihnya, maka tidak ada dosa bagi keduanya.
Diambil dari ayat ini bahwa apabila hanya salah satu yang ridha maka itu tidak cukup, dan tidak boleh salah seorang dari keduanya memutuskan tanpa ada musyawarah, hal ini dikatakan oleh Ats-Tsaury dan yang lain. Dan ini adalah bentuk kehati-hatian terhadap anak, dan keharusan memikirkan kebaikan bayi, dan ini adalah termasuk rahmat Allah terhadap hamba-hambaNya, karena Allah telah memberi batasan-batasan kepada orang tua dalam mentarbiyyah anaknya, dan memberi petunjuk keduanya kepada apa yang baik bagi bayi dan orang tua" (Tafsir Ibnu Katsir 1/635, cet: Dar Thaibah, tahqiq: Saamy bin Muhammad) )
Kedua: Tidak ada kemudharatan bagi sang bayi.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا ضرر ولا ضرار
Artinya : Tidak boleh memudharati diri sendiri dan orang lain ( HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syeikh al-Albany )
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullahu:
إن الأبوين إذا أرادا فطامه قبل ذلك بتراضيهما وتشاورهما مع عدم مضرة الطفل فلهما ذلك
Artinya:"Sesungguhnya boleh bagi kedua orang tua apabila ingin menyapih bayi sebelum 2 tahun dengan keridhaan keduanya dan musyawarah , dengan tanpa memudharati bayi " (Tuhfatul Wadud hal: 235, cet: Maktabah Dar Al Bayan, tahqiq: Abdul Qadir Al-Na'uuth))
Wallahu ta'aalaa a'lam.


Abdullah Roy Read More......